Friday, June 13, 2008

TAYANGAN ANAK BANYAK PELANGGARAN
Diposting kompas.com, Rabu, 4 Juni 2008 00:52 WIB

JAKARTA, KOMPAS - Komisi Penyiaran Indonesia menilai hampir semua tayangan anak melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran atau P3-SPS. Penilaian ini diungkapkan setelah KPI melakukan pengamatan intensif selama 1,5 tahun.

Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Don Bosco Selamun, Selasa (3/6) di Jakarta, mengatakan, pelanggaran tayangan tersebut terutama karena mengandung unsur kekerasan, mistik, pornografi, dan memberi contoh buruk kepada anak.

Don Bosco menjelaskan, KPI mengkaji tayangan anak itu karena banyak keluhan dari orangtua, kalangan pendidikan, dan masyarakat luas. Ada empat kategori pelanggaran. Pertama, mengandung unsur kekerasan, seperti menampilkan kekerasan secara berlebihan sehingga menimbulkan kesan, kekerasan adalah hal lazim dilakukan (Pasal 29). Kekerasan dalam hal ini tidak saja dalam bentuk fisik, tetapi juga verbal, seperti memaki dengan kata-kata kasar (Pasal 62 e).

Kedua, mengandung unsur mistik yang melanggar Pasal 63 F SPS, yaitu ”menampilkan perilaku yang mendorong anak percaya pada kekuatan paranormal, klenik, praktik spiritual masis mistik atau kontak dengan ruh”.

Ketiga, pelanggaran yang mengandung unsur pornografi, termasuk ”menampilkan cara berpakaian siswa dan guru yang menonjolkan sensualitas” (Pasal 14 d).

Keempat, kategori pelanggaran tayangan anak yang mengandung unsur perilaku negatif, seperti menayangkan sikap kurang ajar kepada orangtua atau guru (Pasal 63 e) dan menggambarkan penggunaan alkohol atau rokok (Pasal 16 b).
HAPPY FIVE (Yang Nggak Happy)
Kemarin pagi di "Selamat Pagi"-nya Trans 7, salah satu topik yang dibahas adalah mengenai kasus beberapa anak TK yang (secara tidak sengaja?) mengkonsumsi narkoba dengan nama beken Happy Five. Katanya karena disangka makanan kecil oleh salah seorang "korban" ia secara tak sengaja mengambil "makanan kecil"tersebut yang dikabarkan milik salah satu orangtuanya. Bocah murah hati ini tak segan membagikan "makanan kecil "itu pada beberapa temannya yang sontak fly.
Bukan kasus baru tentang anak mengkonsumsi narkoba, baik sengaja atau tak sengaja.Walau bukan kasus gress, nyatanya media ramai-ramai memberitakan kasus ini. Salah satunya adalah Trans 7 di "Selamat Pagi".
Jengkel hati saya menyaksikan salah satu anak yang jadi korban happy 5 terbaring di rumah sakit dengan selang di tubuhnya. Pernyataan narasumber (seorang dokter, yang kelihatannya sih tidak bermaksud bicara spesifik tentang kasus kasus happy 5 melainkan menjelaskan masalah umum penanganan narkoba) yang menjelaskan bhw konsumsi narkoba bisa menyebabkan ketagihan & pengguna hrs dijauhkan spy tdk menyebabkan anak lain menggunakan narkoba juga saya khawatirkan bisa membuat “label” & anakyg menjadi “pengguna” (padahal mengkonsumsinya dg tak sengaja) dalam kasus happy 5 ini dijauhi teman sebayanya. Tak terbayang bagaimana anak-anak yang hanya merupakan korban ini bisa kembali beraktifitas dengan normal jika sebagian besar teman dan orang disekelilingnya akan mencap mereka sebagai pengguna narkoba.
Trans & hanyalah satu contoh kasus. Sejumlah media lain pun melakukan peliputan dengan cara yang kurang lebih sama. Kapan sih media di Indonesia bisa ramah bagi anak-anak?
Kebebasan Pers Percepat Demokratisasi
(dikutip dari kompas.com, Jumat, 13 Juni 2008 00:46 WIB)
Tashkent, Kompas - Seminar internasional di Tashkent, Uzbekistan, Rabu (11/6), mengangkat tema tentang kebebasan pers dalam masyarakat demokrasi. Gagasan yang mengemuka adalah kebebasan pers dapat mempercepat perkembangan masyarakat menjadi komunitas yang lebih modern. Modernitas itu dicirikan dengan semakin menurunnya sikap otoriter dan berkembangnya demokrasi. Pada ranah ekonomi, hal itu ditunjukkan dengan berkembangnya kapitalisme serta ekonomi pasar. ”Secara umum, kita dapat menamakannya pluralisme serta keterbukaan publik,” ungkap Direktur Jenderal Bidang Perencanaan Internasional dan Penyiaran Kantor Berita Jepang NHK Toshiyuki Sato.
Di depan peserta seminar itu, Toshiyuki mengatakan, kebebasan pers memiliki peran sebagai stabilisator dalam masyarakat demokratis. Media yang memiliki peran pengontrol dalam masyarakatnya bertanggung jawab untuk mengkritik pemerintah yang cenderung koruptif atau menentang perkembangan demokrasi itu sendiri.
Dengan peran itu, tutur Toshiyuki, media massa mampu mendewasakan masyarakat yang dilayaninya. Untuk itu, semakin hari media massa, termasuk wartawannya, harus bersikap imparsial dan independen. Di sisi lain, intervensi pemerintah terhadap media harus diminimalkan.”Untuk itu, media harus selalu terbuka terhadap kritik dan siap bertanggung jawab atas apa yang diliputnya,” lanjut Toshiyuki.

Pemimpin Umum The Korea Post Lee Kyung Sik menambahkan, berbagai bentuk media makin berkembang dengan hadirnya internet dan telepon genggam. ”Setiap orang saat ini dapat menjadi wartawan. Mereka dapat melaporkan apa yang mereka lihat dan alami serta membagikan berita melalui internet dan telepon genggam,” kata Lee.
Kehadiran dua media itu akan mengubah wajah dunia. Tak ada lagi batas dan nyaris tidak tersensor. Aktivitas jurnalisme di masa depan akan semakin berkembang, ditambah kian terbukanya akses masyarakat terhadap informasi.
Namun, Direktur Pusat Nasional Hak Asasi Manusia Republik Uzbekistan A Saidov mengatakan, perubahan dan kebebasan pers penting untuk membangun demokrasi. Akan tetapi, perubahan itu sebaiknya disikapi dengan dewasa

Friday, May 23, 2008

DOA SAYA

Belum lama ini, pengasuh anak saya mengeluh. Anak sulungnya ingin kuliah tapi dana tidak mencukupi. Saya bilang, "Kuliah itu bukan tujuan akhir. Kalau setelah kuliah nggak tahu mau ngapain juga percuma." Entah ia bisa paham atau tidak.

Setelah selesai ceramah panjang lebar tentang tidak kuliah bukan akhir segalanya. Sayup-sayup saya dengar di televisi kuis melalui sms yang katanya berhadiah puluhan juta rupiah. "Gampang tinggal sms..." begitu kata sang presenter saat mengundang penonton televisi Indonesia (yang mayoritas lagi mumet mikirin bbm yang naik, bahan kebutuhan pokok yang harganya naik, urusan daftar ulanganak, & kemungkinan PHK).

Pengasuh anak saya terlihat beberapa kali memperhatikan kuis tersebut. Saya cuma bisa berdoa, mudah-mudahan pengasuh anak saya tidak termasuk salah satu pemirsa televisi yangpercaya bahwa mendapatkan uang semudah mengetikkan sms.

Thursday, April 03, 2008



KABAR DARI PAMAN SAM


Perubahan sistem penyiaran digital di Amerika Serikat diprediksi merugikan kelompok minoritas. Dibanding kelompok kulit putih, Etnis Hispanic diperkirakan hampir dua kali lebih besar kemungkinannya tidak memperoleh akses terhadap siaran televisi ( baca: Digital TV Shift Affects Minorities Most dalam newsmax.com, charlotte.com, usadaily.com, dan beberapa situs lainnya pada pertengahan Februari lalu).

Awal februari 2009, stasiun-stasiun televisi di Amerika Serikat hanya akan mentransmisikan sinyal digital. Artinya, pemirsa yang menggunakan antena sebagai penerima siaran televisi dan tidak memiliki perangkat penerima siaran digital tak mungkin bisa menerima siaran teklevisinya kecuali memiliki converter box khusus.

Padahal survei Nielsen memperkirakan lebih dari 13 juta rumah tangga di Amerika Serikat menerima siaran melalui perangkat non-digital sets. Berdasarkan ras persentase ketidaksiapan adalah sebagai berikut: 8.8% kulit putih, 11.7% asia, 12.4% kulit hitam, dan 17.3% Hispanics.

Siapa sangka di Amerika Serikat yang katanya negara adi kuasa sejumlah besar penduduknya terancam tak bisa menikmati siaran televisi. Inilah yang oleh akademisi ilmu komunikasi dikenal dengan knowledge gap hypothesis. Hipotesis ini menjelaskan bahwa terdapat dua kelompok masyarakat. Kelompok pertama, yaitu kelompok information-rich " haves" memiliki akses informasi yang lebih baik karena kelompok ini terdiri dari kelompok terdidik yang memiliki kemudahan dalam mengakses informasi. Sementara kelompok information-poor "have nots" merupakan kelompok dengan pendidikan rendah dan akses yang juga terbatas untuk memperoleh informasi. Lebih ironis lagi, teknologi media yang berkembang pesat merupakan salah satu penyebab makin jauhnya jurang pembatas akses informasi antara si kaya dan si miskin. Padahal kita menyangka teknologi komunikasi mampu mempermudah akses perolehan informasi bagi semua.

Berbagai upaya dapat dilakukan untuk memperkecil jurang ini. Dalam kasus digitalisasi siaran televisi di Amerika Serikat ini kabarnya pemerintah telah mempersiapkan penyediaan kupon subsidi untuk memperoleh converter yang memungkinkan digunakan sebagai "jembatan" penerima pesawat analog atas siaran digital.

Waduh, jangan-jangan digitalisasi di Amerika Serikat menular ke Indonesia nih....Siap nggak pemerintah Indonesia mensubsidi supaya tidak terjadi jurang pemisah antara si kaya dan miskin informasi? Barangkali pemerintah kalau membaca tulisan ini akan jawab: "Subsidi BBM aja dikurangi, apalagi untuk akses informasi." Eh, tapi ini cuma asumsi saya loh.....