Thursday, April 03, 2008



KABAR DARI PAMAN SAM


Perubahan sistem penyiaran digital di Amerika Serikat diprediksi merugikan kelompok minoritas. Dibanding kelompok kulit putih, Etnis Hispanic diperkirakan hampir dua kali lebih besar kemungkinannya tidak memperoleh akses terhadap siaran televisi ( baca: Digital TV Shift Affects Minorities Most dalam newsmax.com, charlotte.com, usadaily.com, dan beberapa situs lainnya pada pertengahan Februari lalu).

Awal februari 2009, stasiun-stasiun televisi di Amerika Serikat hanya akan mentransmisikan sinyal digital. Artinya, pemirsa yang menggunakan antena sebagai penerima siaran televisi dan tidak memiliki perangkat penerima siaran digital tak mungkin bisa menerima siaran teklevisinya kecuali memiliki converter box khusus.

Padahal survei Nielsen memperkirakan lebih dari 13 juta rumah tangga di Amerika Serikat menerima siaran melalui perangkat non-digital sets. Berdasarkan ras persentase ketidaksiapan adalah sebagai berikut: 8.8% kulit putih, 11.7% asia, 12.4% kulit hitam, dan 17.3% Hispanics.

Siapa sangka di Amerika Serikat yang katanya negara adi kuasa sejumlah besar penduduknya terancam tak bisa menikmati siaran televisi. Inilah yang oleh akademisi ilmu komunikasi dikenal dengan knowledge gap hypothesis. Hipotesis ini menjelaskan bahwa terdapat dua kelompok masyarakat. Kelompok pertama, yaitu kelompok information-rich " haves" memiliki akses informasi yang lebih baik karena kelompok ini terdiri dari kelompok terdidik yang memiliki kemudahan dalam mengakses informasi. Sementara kelompok information-poor "have nots" merupakan kelompok dengan pendidikan rendah dan akses yang juga terbatas untuk memperoleh informasi. Lebih ironis lagi, teknologi media yang berkembang pesat merupakan salah satu penyebab makin jauhnya jurang pembatas akses informasi antara si kaya dan si miskin. Padahal kita menyangka teknologi komunikasi mampu mempermudah akses perolehan informasi bagi semua.

Berbagai upaya dapat dilakukan untuk memperkecil jurang ini. Dalam kasus digitalisasi siaran televisi di Amerika Serikat ini kabarnya pemerintah telah mempersiapkan penyediaan kupon subsidi untuk memperoleh converter yang memungkinkan digunakan sebagai "jembatan" penerima pesawat analog atas siaran digital.

Waduh, jangan-jangan digitalisasi di Amerika Serikat menular ke Indonesia nih....Siap nggak pemerintah Indonesia mensubsidi supaya tidak terjadi jurang pemisah antara si kaya dan miskin informasi? Barangkali pemerintah kalau membaca tulisan ini akan jawab: "Subsidi BBM aja dikurangi, apalagi untuk akses informasi." Eh, tapi ini cuma asumsi saya loh.....

KOK MARAH?

Akses terhadap situs YouTube terancam diblokir bila dalam dua hari tidak membuang Fitna dari content mereka. Aksi pemblokiran akan dilakukan oleh ISP se-Indonesia dengan koordinasi Depkominfo. Demikian kata Menkominfo M. Nuh (Detik.com, Selasa, 1/4/1008)."Menurut M. Nuh surat permintaan Pemerintah RI terhadap pengelola YouTube telah dilayangkan pagi ini.
Waduh, baru beberapa hari Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) diberlakukan sudah ada tindakan yang menurut saya berlebihan. Terus terang, saya belum nonton Fitna & sempet jengkel waktu dengar kabar beredarnya film ini.
Tapi, mendengar penjelasan Cak Nun di sebuah interview radio, mendadak saya malu. Cak Nun kurang lebih bilang, kalau Rasulullah menonton film itu, pasti Rasulullah akan tersenyum. Ngakunya Muslim modern yang berpikiran terbuka dan bangga Indonesia mulai latihan berdemokrasi. Lantas kenapa marah ada orang yang berpendapat berbeda?
NGERI JUGA JADI WARTAWAN


TEMPO Interaktif ( Kamis, 3 April 2008) melaporkan Aliansi Jurnalis Independen mendesak pihak kepolisian mengusut pelaku penganiayaan terhadap wartawan TV One. Penganiayaan dialami oleh dua orang wartawan TV One, Aditya dan Eko Subiyakto, ketika hendak meliput di kawasan pabrik Jababeka, Cikarang, beberapa hari lalu. Keduanya dianiaya petugas berseragam Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut. Sumber yang sama menjelaskan, laporan yang diterima AJI mencatat sedikitnya 12 kasus serupa terjadi pada 2007.

Sayang di laporan yang saya "klik" judulnya di tempointeraktif tidak dibeberkan bagaimana penjelasan dari pihak petugas yang menganiaya para wartawan. Tanpa bermaksud membela tindak kekerasan yang dilakukan, beberapa kali saya sempat mengamati tindakan wartawan yang juga (menurut saya) mengganggu kenyamanan narasumber.

Contoh sederhana misalnya, saat kondisi berduka sejumlah wartawan tetap merangsek ke keluarga seorang selebriti yang meninggal dunia (nggak tahu juga sih pihak keluarga keberatan atau nggak. Tapi kalau saya yang jadi keluarganya pasti wartawannya sudah saya usir dengan tidak terhormat), belum lagi penayangan gambar jenazah yang, aduh....rasanya ngga layak dipertontonkan.

Saya memang bukan wartawan. Saya juga bukan orang yang layak dikejar-kejar wartawan jadi narasumber. Sesungguhnya saya tak tahu bagaimana perasaan para narasumber yang dikejar-kejar wartawan. Mungkin saya berempati berlebihan terhadap para narasumber yang ingin memiliki privasi, atau setidaknya ingin menyiapkan kata-kata untuk diungkapkan di depan media.

Seorang aktivis dan wartawan media penyiaran senior pernah bilang: "Semua profesi pasti berisiko. Termasuk juga menjadi wartawan. Banyak wartawan menjadi tawanan perang, bahkan sampai meninggal dalam kondisi tak layak. Itulah resiko profesi."
Selamat berjuang teman-teman wartawan.Mudah-mudahan kalian ditunjang dengan asuransi yang memadai.