Wednesday, December 26, 2007

KONTES MENYANYI VERSUS KONTES POPULARITAS



Sejumlah pendukung fanatik Mike di "Asian Idol" geram. Gara-gara Mike kalah di Asian Idol yang pertama yang disiarkan stasiun televisi RCTI. Dalam kontes yang diikuti perwakilan dari Filipina, Malaysia, Vietnam, India, Indonesia, dan Singapura ini, ternyata Hadi Mirza dari Singapura lah yang menjadi pemenangnya.

"Ini pasti gara-gara banyak orang Indonesia yang pilih Singapura deh buat pilihan keduanya!" "Ah...pada milih HAdi, soalnya ganteng sih". Itu beberapa komentar yang sempat saya dengar. Komentar lebih seru lagi dilontarkan saat KOMPAS mengeluarkan wawancara dengan pihak penyelenggara Asian Idol (yang notabene orang Indonesia) yang menjelaskan mengenai cara penghitungan suara melalui voting SMS. Sebab memang banyak orang mempertanyakan, kok bisa sih Mike dengan suara emasnya yang dipuja-puji sejumlah juri kalah melalui voting? Padahal penduduk Indonesia kan banyak.

Ini adalah kutipan cara penghitungan hasil voting yang saya peroleh dari wikipedia dengan keyword Asian Idol:

"There are several differences in voting and tabulation between Asian Idol and other Idol shows. Unlike the latter wherein the viewers get to vote for one contestant, the voting procedure for Asian Idol requires viewers to send SMS votes for two favorite Idols, thus allowing contestants to receive votes aside from their respective countries.[7][22]

As consideration on population size among the participating countries, tabulation of votes are done through an "Equal and Even Cumulative Method", wherein the total votes of each country are converted into percentages.[22][23]"

Pusing? Sudahlah...tak usah dipikirkan cara penghitungannya. Intinya, menghitung hasil voting sms Asian Idol ternyata tak semudah yang kita bayangkan.

Banyak pemirsa yang lupa: Asian Idol adalah sebuah tayangan televisi yang merupakan produk "jualan". Jadi kalau berulang kali Simon Cowell, sang juri paling berkarakter di American Idol, berulang kali berujar: "This is a singing contest, not a popularity contest", maka kali ini saya terpaksa tak sependapat dengan Cowell. Saya sangat percaya: Program televisi adalah produk yang dijual dalam kemasan tertentu sesuai keinginan dan kebutuhan pembuat programnya. Peenonton hanyalah pihak pasif yang menerima apa yang disaksikannya. Walau sekarang pasifnya penonton kerap berusaha diselubungi dengan kemasan yang seakan membuat pemirsa menjadi berperan aktif. Misalnya melalui pemilihan pemenang program Idol melalui voting SMS.

Toh, nyatanya penonton hanyalah pihak pasif yang masihbertanya-tanya: "Kok Hadi sih yang menang?"





Tuesday, November 27, 2007


KABAR (Mudah-Mudahan) GEMBIRA

Kemarin saya mendengar iklan radio mengenai citizen journalism Harian Republika. Intinya, harian ini mengajak pembacanya mengirimkan materi berita, bisa foto ataupun tulisan untuk dipublikasikan melalui Harian Republika.


Mengutip tulisan di republika.co.id (Genre Baru Bernama Citizen Journalism, Rabu, 07 Nopember 2007) , Nicholas Lemann, profesor di Columbia University Graduate School of Journalism, mencatat: Kelahiran jurnalisme publik (citizen journalism) dimulai melalui gerakan pada Pemilu Amerika Serikat 1988. Saat itu publik kehilangan kepercayaan terhadap media mainstream seputar pemilihan presiden AS. Di Asia, Oh May News mengalami sukses luar biasa juga dipicu oleh pemilihan presiden Korsel.


Artikel dalam Online Journalism Review (2003), oleh J. D. Lasica (http://en.wikipedia.org/wiki/Citizen_journalism) menerangkan ada berbagai bentuk citizen journalisme: 1) Partisipasi Audience, misal: komentar atas berita yang dipublikasi sebuah media, suara anda di Metro TV, Surat Pembaca di Kompas, kolom comment pada blog adalah beberapa diantaranya), 2) Berita dan informasi independen dari website, 3) Full-fledged participatory news sites misal: OhmyNews, 4) Collaborative and contributory media sites, misal: Slashdot, Kuro5hin, 5) Jenis lain dari thin media, seperti mailing lists atau email newsletters, dan 6) Personal broadcasting sites, misal: video broadcast sites.


Artikel di republika.co.id (Genre Baru Bernama Citizen Journalism, Rabu, 07 Nopember 2007) menggambarkan Citizen Journalism sebagai bentuk perlawanan. Baik terhadap hegemoni dalam merumuskan dan memaknai kebenaran, dominasi informasi oleh elite masyarakat, sampai perlawanan terhadap tatanan peradaban yang makin impersonal. Lebih lanjut artikel tersebut memuji citizen journalism sebagai penemuan kembali kemanusiaan, persahabatan, dan kekeluargaan.

Itu gambaran sempurnanyal. Nyatanya, penerapan Citizen Journalism di Harian Republika hasil reportase pembaca hanya dipublikasikan pada edisi ahad setelah diseleksi redaksi. Untuk Suara Anda di Metro TV hanya segelintir suara yang bisa tersiarkan. Coba kirim Surat Pembaca di KOMPAS, mudah-mudahan bisa termuat. Bahkan di blog pun jika sang administrator tak suka dengan komentar kita, komentar tersebut bisa di hadang ter-up load. Banyak alasan mengapa tetap ada praktek hadang-menghadang dalam Citizen Journalism, diantaranya keterbatasan waktu siar atau halaman untuk mencetak, faktor kepentingan untuk publik, sampai faktor muatan informasi atau berita mana yang lebih menguntungkan jika dipublikasikan oleh sang administrator (atau istilah-istilah lain dari si "penghadang" informasi dari publik).

Walau demikian, semangat ber-citizen journalism patut terus disosialisasikan Daripada terus menerus menerima muatan media yang seluruhnya dipasok sekelompok pemilik modal dan atau kekuasaan. Namanya juga hidup, mana ada yang sempurna....

Friday, November 23, 2007

BAK KERBAU DICUCUK HIDUNG
Kemarin juru masak ibu saya berniat mempraktekkan resep baru yang didapatnya dari program masak-memasak di salah stasiun televisi swasta (Sayang saya lupa stasiun televisi dan nama programnya). Sederhana resepnya, terong goreng tepung. Masalahnya ia berkeras mau menggunakan sebuah tepung serbaguna bermerk tertentu yang identik dengan salah satu merek bumbu penyedap makanan (yang tentunya ber-MSG). Heran juga ibu saya, kenapa spesifik produk itui? Padahal juru masak tidak pernah menggunakan produk tersebut. "Soalnya, di resepnya pakai tepung itu....", jelas juru masak ibu saya dengan polos.
Oalah....., tentunya sang juru masak tidak paham kenapa sampai di resep tersebut penting disebutkan merek tepung serbaguna tertentu.
Di jaman serba kejar uang seperti sekarang sejumlah media berusaha "menjual" space iklannya lebih kreatif dan yang punya duit (baca: pengiklan) pingin produk atau jasanya makin lancar terjual. Salah satu taktik adalah membuat program atau tulisan yang seakan tidak disusupi muatan iklan. Padahal sebenarnya media dan pengiklan berkongsi memasukan muatan informasi produk atau jasa sang pengiklan secara halus (soft sell). Contohnya ya...program masak memasak yang tiap hari disaksikan hampir semua perempuan yang tinggal di rumah ibu saya.
Namanya boleh soft sell, tapi dampaknya bisa lebih besar daripada hard sell. Ketimbang memasang spot iklan dan bersaing dengan sekian banyak produk atau jasa sejenis untuk bisa diingat oleh target konsumen, mending menciptakan program (istilah keren media penyiarannya: blocking time) yang disusupi pesan-pesan untuk menggunakan produk atau jasa yang hendak disosialisasikan. Bayangkan berapa banyak yang secara tak sadar mengikuti resep dan menggunakan tepung serbaguna bermerk tertentu di program yang disaksikan juru masak ibu saya itu.
Itu baru satu produk di satu program. Seorang senior saya di masa jayanya sebagai penyiar radio, dalam empat jam siaran membacakan iklan baca (adlibs, bahasa penyiarannya) minimal empat buah. Di masa itu, apa yang "diceritakan" senior saya ini, sebagian besar "ditelan bulat-bulat" pendengar setianya. Bahkan saya sempet jadi saksi telinga (karena melalui radio) sekedar bercerita baru makan martabak yang enak banget, pendengar langsung telepon ke studio khusus menanyakan di mana tuh martabak yang uenak tenan-nya dijual? Padahal si tukang martabak boro-boro pasang iklan. Sadar lagi diomongin aja nggak.
Sampai detik ini, saya masih sangat percaya media punya dampak besar terhadap isi kepala audience-nya. Apalagi untuk kasus negara dengan populasi manusia cerdas yang masih menyedihkan seperti Indonesia.
Jangan sampai kita jadi bak kerbau dicucuk hidungnya....

Tuesday, November 20, 2007

Kemana Harus Mengadu?



KOMPAS 19 November 2007 di headline-nya "Dari Lingkungan yang Salah Mereka Meniru...." memuat kutipan pernyataan Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Fetty Fajriati Miftach berkaitan dengan aksi kekerasan di televisi. " KPI tidak memiliki wewenang terhadap program televisi yang menayangkan acara kekerasan karena berkaitan dengan produk dan kebebasan pers yang tidak boleh dimatikan", demikian menurut Fetty. "Namun, bila tayangan tersebut mempertontonkan gambar yang tidak layak dilihat, sadis, atau porno, kami baru bereaksi dan menegur stasiun televisi yang menayangkannya dan juga Dewan Pers", lanjutnya.

Aneh, kok pernyataan pertama dan kedua sepertinya bertentangan? Pernyataan pertama menyatakan bahwa KPI tidak punya wewenang atas acara kekerasan karena berhubungan dengan kebebasan pers. Di pernyataan kedua narasumber yang sama menyatakan kalau mempertontonkan gambar yang tidak layak dilihat, sadis, atau porno, KPI bisa bereaksi.

Padahal, undang-undang penyiaran tahun 2002 pasal 35 (5b) menjelaskan bahwa: Isi siaran dilarang menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkoba, dan obat terlarang.

Mudah-mudahan sih cuma saya yang salah memahami pesan yang disampaikan Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) ini saja. Sebab jika benar KPI tidak berwenang atas acara yang bermuatan kekerasan demi dalih kebebasan pers, lantas harus kemana lagi publik (sebagai PEMILIK FREKUENSI) mengadu?

Wednesday, November 14, 2007

TV: SAHABAT ATAU MUSUH
Koran Tempo hari ini memuat hasil penelitian University of California, Rady's Children Hospital, dan University of South Alabama di Amerika Serikat. Kesimpulannya: Menonton televisi tak hanya berhubungan dengan obesitas pada anak, tapi juga berisiko mencetuskan darah tinggi. Katanya, anak yang banyak menonton televisi terlalu banyak duduk, diam, kurang bergerak, sehingga terbuka peluang mengalami kegemukan, termasuk darah tinggi.
Sementara itu, di Majalah Mother & Baby Indonesia edisi Bulan ini, ada kutipan hasil penelitian yang kurang lebih menyimpulkan bahwa dengan menonton televisi, perkembangan anak akan lebih maksimal. Memang di artikel tersebut dijelaskan, bahwa anak harus diajak berkomunikasi saat sedang menonton televisi.
Sama seperti memilih sahabat, setiap orang punya pertimbangan masing-masing. Begitupula dengan pertimbangan anda dalam menetapkan televisi. Sahabat atau musuh keluarga?

Thursday, November 08, 2007


SEMUA UNTUK JAKARTA*


Kalau ada yang sedang membuat analisa isi media di Indonesia, saya rasa topik yang sedang in adalah : Kemacetan Jakarta. Memang benar, kemacetan di seputaran Jakarta makin menggila. Benar, bahwa banyak warga yang terhambat aktivitasnya. Benar, kemacetan Jakarta menyebabkan kerugian materiil dan imateriil yang besar.

Lantas, mana serampangannya? Bencana di Gunung Kelud, Semeru, Anak Krakatau bisa dan sudah menimbulkan korban yang juga warga negara Indonesia. Entah ada yang peduli atau tidak. Operasi yustisi di (lagi-lagi) DKI Jakarta menyebabkan sejumlah orang yang hanya berusaha mencari setengah (saking sedikitnya keberuntungan yang bisa diperoleh) sendok nasi untuk keluarganya dipulangkan ke desanya dan menjadi pengangguran (padahal ada yang katanya sudah bekerja bertahun-tahun di ibukota dan nggak punya administrasi kependudukan yang lengkap karena nggak tahu bahwa untuk kerja butuh syarat administrasi kependudukan -suatu bukti bahwa informasi adalah barang mahal di negara ini). Belum lagi isu lain, seperti pejabat pemerintah yang mendadak harta kekayaannya bertambah secara drastis.

Tapi siapa mau peduli? Jakarta kan pusat pembangunan (Loh, katanya sudah ada otonomi daerah?). Jakarta kan kota tersibuk di Indonesia. Jakarta kan pusat pemerintahan. Ah, mudah-mudahan cuma asumsi saya bahwa isi media masih didominasi "Ke-jakarta-an". Kalau begitu, jangan main angkut pulang para pendatang dong, lah wong yang mereka tahu cuma tentang Jakarta melulu.

* Thx buat munchkikins buat ide topik ini :)

Friday, October 12, 2007

Sahur Mubazir
Sahur terakhir ramadhan kali ini, saya menonton tayangan sahur di salah satu televisi swasta. Saatnya Kita Sahur, itu kalau tidak salah nama programnya. Tidak ada yang baru. Lawakan standar yang diramu kuis, kelihatannya masih jadi pilihan stasiun tersebut. Yang menyebalkan adalah di layar kaca, saya melihat para pemain di acara tersebut saling lempar makanan (yang berupa kue atau roti). Becanda sih maksudnya. Tapi kok tega sih buang-buang makanan, saat harga bahan pokok melambung, banyak orang tidak bisa berbelanja baju baru karena harga yang melonjak, dan pemulung dan pengemis membanjiri ibukota.
Acara tersebut memang ditayangkan secara live, tapi saya percaya tidak ada yang namanya spontan di media. Semua sudah dibuat dengan standar masing-masing media yang tidak boleh terlepas dari dasar hukum di mana media tersebut disebarluaskan. Kalaupun pihak media mau berdalih bahwa adegan lempar-lemparan makanan tersebut dilakukan spontan saja, manajemen yang bertanggung jawab atas apa yang disebarluaskan medianya.
Ingat kejadian Janet Jackson "pamer payudara" di super bowl beberapa tahun lalu? FCC di Amerika Serikat mengeluarkan teguran keras kepada jaringan televisi yang menjadi pemegang lisensi penyiaran super bowl kala itu. Setelah kasus tersebut bahkan stasiun yang bersangkutan harus menyiarkan dengan penundaan beberapa detik siaran live demi "keamanan" tayangan yang disiarkannya karena super bowl ditayangkan kala prime time.
Pihak watchdog di Indonesia masih kurang galak nih kayaknya!

...4nd CANDIDATES
Jangan diperbaiki ya judul di atas! Soalnya itu adalah potongan sebuah headline di sebuah majalah ABG perempuan edisi Oktober 2007 (mudah-mudahan saya benar menebak target pembaca majalah tersebut). Mudah-mudahan kesalahan penulisan headline tersebut (semest inya tertulis 4th) hanyalah masalah "kelupaan" mengedit dari redaksi majalah yang bersangkutan, bukan karena ketidak tahuan mengenai penggunaan bahasa asing yang tepat.
Padahal, kalau memang mau gampang, kenapa juga ngga ditulis dalam Bahasa Indonesia. Kan sirkulasinya juga cuma di Indonesia, bagi pembaca yang bisa berbahasa Indonesia. Selain malu ketahuan ngga bisa berbahasa Inggris dengan baik, hitung-hitung menggalakkan penggunaan Bahasa Indonesia melalui medianya.
Sebetulnya bukan cuma majalah tersebut yang sembarang menggunakan bahasa asing, karena sejumlah media lain pun memilih menggunakan bahasa asing ketimbang bahasa ibunya. Mau going global atau menunjukkan positioning medianya sebagai media kelas atas adalah beberapa diantara berbagai alasan yang dikemukakan para pekerja media. Lebih sadis lagi tuduhan teman saya, yang sempat menjabat general manager di sebuah stasiun radio swasta, "Bahasa Indonesia itu kosa katanya sedikit sih." Teman saya ini pasti tidak tahu kalau Bahasa Betawi - yang turut memperkaya kosa kata Bahasa Indonesia - sampai punya kata tersendiri untuk menggambarkan kesalahan mengancingkan baju sehingga batas bawah kemeja tidak rata.
Coba simak sejumlah stasiun radio atau program televisi yang diperuntukkan bagi kalangan menengah atas, sebagian besar akan menyisipkan bahasa asing di antara Bahasa Indonesia yang digunakan sebagai alat penyampaian pesan resminya. Sering kita dengar sejumlah artis atau non artis menyebut kata ENTERTAIN bukan entertainment. Misalnya, "Saya kan terjun dalam bidang entertain...." (baca: entertainment, maksudnya),. Atau yang sempat heboh beberapa tahun lalu adalah saat seorang selebritas mengatakan (di depan kamera & disiarkan melalui televisi nasional), "Who do you think he are?"
Seorang profesor bidang Ilmu Budaya pernah bercerita bahwa sebenarnya sudah banyak buku atau kamus yang dikeluarkan secara resmi untuk membahasa Indonesiakan sejumlah istilah asing tapi pengaplikasiannya masih jauh dari memuaskan. Sewaktu sang profesor bercerita, sebetulnya saya ingin menjawab, "Jangan-jangan pihak pembuat penyesuaian istilah pun kurang gigih mempublikasikan keberadaan buku-buku atau kamus-kamus tersebut." Tapi sebagai praktisi media saya lalu berpikir lagi, "Jangan-jangan orang-orang media seperti saya inilah yang , malas membaca untuk tahu mengenai informasi tersebut."
Pekerja media kerap lupa, salah satu fungsi media adalah: mendidik (to educate). Kalau medianya masih sembarangan berbahasa, bisa-bisa masyarakatnya pun akan sembarangan berbahasa. Beberapa tahun lalu mahasiswa saya mempertanyakan, kenapa majalah-majalah (dan juga media lainnya) yang dibacanya gemar menyisipkan kata-kata asing yang tidak penting dalam kalimat berbahasa Indonesia, apakah hanya demi gaya-gayaan? Ayo...siapa pekerja media yang siap menjawab pertanyaan mahasiswa saya ini dari hati nurani terdalam? ;) Daripada salah jawab, gimana kalau kita sama-sama bikin kampanye pengenalan Bahasa Indonesia yang baik bagi masyarakat?

Wednesday, October 10, 2007

Lanjutkan Perjuangan!
(Mengenang 40 Hari Wafatnya Zainal A Suryokusumo)
Hampir dua minggu setelah almarhum meninggal dunia (akibat kanker kelenjar getah bening yang baru terdiagnosa dua bulan sebelumnya), seorang pengajar ilmu komunikasi bilang: "(Semua) Orang penyiaran pasti kenal Pak Zainal", begitu ia menyadari nama belakang saya Suryokusumo. Aneh, setelah ayah, guru, sahabat, & lawan debat saya meninggal, saya seperti baru tahu bahwa seorang Zainal A Suryokusumo (atau biasa disapa Bang Zen, Babe, Bung Daktur) adalah big thing bagi banyak orang.
"Ngapain kamu kerja di radio?", itu kalimat almarhum waktu dengan bangganya saya bercerita tentang diterimanya saya sebagai penyiar di sebuah stasiun radio swasta papan atas. Sekitar sembilan tahun kemudian, saat terbaring sakit di ICU RS MMC, almarhum menuliskan di selembar kertas (karena tidak bisa bicara akibat harus menggunakan alat bantu pernapasan): "Jangan kecil hati", lalu dengan tangannya yang masih sulit berkoordinasi dengan keinginannya berkomunikasi, almarhum menulis lagi: "Kita sama-sama siaran".
Sebenarnya sampai almarhum wafat 30 Agustus 2007, saya belum mengerti apa maksud tulisan-tulisan pendeknya. Interpretasi pesan sangat tergantung dari penerimanya. Jadi mudah-mudahan sah saja kalau saya menginterpretasikan tulisan-tulisan pendek almarhum di ICU tadi sebagai penyemangat bagi saya, bahwa bekerja di radio tidaklah seburuk yang pernah disampaikannya kepada saya.
Uniknya, walau anak-anaknya selalu berusaha dijauhkan dari kemungkinan bekerja di dunia penyiaran, nyatanya 2 dari 3 anaknya pernah & masih bekerja di dunia yang dibenci sekaligus dicintainya itu. Barangkali almarhum mau menyampaikan pada kami, " Biar Mama saja (begitu saya memanggilnya) yang berurusan dengan dunia penyiaran indonesia yang nggak pernah jelas ini".
Usahanya menghalangi putri-putrinya bekerja di dunia penyiaran tidak menghalangi semangatnya membenahi dunia penyiaran dan kebebasan perolehan informasi bagi semua. Tak heran beberapa minggu menjelang sakit pun almarhum masih sibuk bertugas keluar kota. Kesibukan yang semasa kecil tidak pernah saya mengerti, "Kenapa Mama sibuk tapi nggak pernah bisa sebanyak uang & sengetop orang lain?"
Semasa hidupnya, rasanya banyak yang sudah saya pelajari dari almarhum. Sepeninggalannya, saya justru merasa terlalu banyak yang belum saya pelajari darinya. Sampai hari-hari terakhir hidupnya pun, saya masih tidak tahu dari mana harus memulai mengumpulkan pemikiran-pemikirannya yang tersebar di belasan note book, sebuah laptop yang rusak LCD-nya, ratusan karya tulis, dan sebuah flash disk.
Almarhum masih sempat berpesan ke sejumlah sahabatnya untuk melanjutkan perjuangnya yang pernah dimulainya. " Saya bekerja untuk cucu & cicit saya", demikian salah satu kalimat almarhum yang selalu saya ingat, saat berdebat tentang RUU Penyiaran (yang sekarang menjadi UU Penyiaran) dengan seorang lawan bicaranya melalui telepon genggam.
Banyak ilmu almarhum yang belum saya pelajari untuk ketahui. Saya hanya tahu bahwa saya bersyukur menjadi putrinya.
LIBUR T'LAH TIBA

Libur lebaran sudah mulai. Mulai juga sebagian orang tua dipaksa memutar otak supaya anaknya bisa menikmati liburannya secara positif. Yang paling murah sih, biarkan anak anda di rumah sambil ditemani "sahabat" manusia jaman sekarang: televisi.

Murah bukan berarti bebas was-was. Coba anda perhatikan beberapa sinetron yang sedang naik tayang. Ada yang tokoh utamanya kalau kehilangan kesabaran berubah jadi seperti monyet. Ada yang tokoh utamanya masih pakai seragam sekolah sudah duduk dempet-dempetan sama lawan jenisnya. Ada juga yang ceritanya mengaku diangkat berdasarkan nilai-nilai agama tertentu, tapi kalau benar-benar kita simak....kok malah kayak film horor. Ada setannya lah, mahluk jadi-jadian lah, dan mahluk-mahluk irasional lainnya.

Alhamdulillah jika anda mampu menghadirkan fasilitas televisi berlangganan bagi buah hati. Acaranya jauh lebih mending. Eits, nanti dulu! Chanel untuk televisi berlangganan yang sengaja diperuntukkan bagi kalangan terbatas, tentunya juga harus kita konsumsi dengan bijak. kalau anak kita yang masih di bawah umur nonton chanel yang bukan untuk usianya, efek sampingnya ditanggung orangtua & si anak loh! Sebab televisi berlangganan kan datang ke hadapan kita atas permintaan pribadi. Jadi efek sampingnya, ya ditanggung sendiri juga dong. Nggak heran sejumlah televisi berlangganan sekarang menjual fasilitas parental lock, demi perasaan lebih aman bagi orang tua membiarkan anaknya menonton televisi sampai sepuasnya. Padahal kalau sudah di lock pun, apa sehat tuh nonton televisi seharian?

Ayo.....jadinya mau ngapain nih libur lebarannya? ;)

Friday, February 23, 2007

MAU IKUT SARAN BILL GATES?


Dalam sebuah acara Bill Gates berbagi pengalamannya sebagai orang tua di era cyber.
Ia mengaku membatasi waktu anak-anaknya beraktifitas di depan komputer dan video games selama 45 menit di hari sekolah dan satu jam di akhir pekan. Bill dan istrinya, Melinda merasa bahwa setiap orang tua penting mengetahui apa saja yang dilihat dan dilakukan anak-anaknya ketika mereka berada di depan komputer, dan yang lebih penting lagi adalah untuk mengajak anak-anak berkomunikasi setelahnya (http://news.yahoo.com/s/nm/microsoft_gates_daughter_dc&printer=1;_ylt=AtxyCRuJBrZl20d2ODByothU.3QA).

Mudah-mudahan sih, ini bukan cuma sekedar kampanye public relations Gates untuk software terbarunya: Microsoft Vista, yang memiliki fasilitas kontrol bagi orang tua dalam mencatat situs-situs yang dikunjungi serta siapa saja yang diajak chat anak-anaknya

KALAU MAU BERPROMOSI DI RADIO




Semalam seorang teman menelepon. Obrolannya singkat dan padat: Minta bantuan kerjasama promosi sebuah event yang akan digarapnya dengan stasiun radio tempat saya bekerja. Secara terus terang saya bilang, bahwa status saya di radio itu cuma penyiar paruh waktu. Berarti, saya hanya bisa meneruskan kebutuhan teman saya ini ke bagian promosi, keputusannya ya tergantung bagian promosi. Lalu teman saya bilang (dengan nada sangat terburu-buru), “Acaranya untuk weekend ini. Aku kasih space logo radio-mu deh di buku panduan event & spanduk….”

Saya cuma bengong. Nah lo…, dia mengontak saya hari senin untuk kerjasama promosi event di hari Sabtu? Ini bukan masalah ngerepotin ya…tapi kalau saya sih lebih nelongso karena kelihatannya teman saya ini tidak tahu bahwa berpromosi melalui radio tidak bisa efektif jika tidak dilakukan secara repetitif.

Keharusan memasang iklan secara repetitif ini disebabkan karena karakteristik media radio yang selintas dengar. Artinya, apapun yang kita simak di radio hanya berjalan selintasan. Misalnya, kita tidak bisa meminta secara khusus lagu yang barusan diputar penyiar dengan alasan karena tadi kurang menyimak (Idih…idih…emang stasiun radionya milik kamu seorang :)). Ini berlaku juga untuk iklan. Iklan radio baru akan efektif jika dipasang berulang kali. Makin sering iklan disiarkan, makin efektif penyampaian pesan yang dilakukan. Jadi, idealnya teman saya jauh-jauh hari sudah harus menyiarkan iklannya mau event-nya ramai dikunjungi penonton.


Ah, tapi ini baru satu kasus. Beberapa waktu lalu, saya sempat bertemu seorang pemilik usaha hiburan yang minta tolong petunjuk berpromosi di radio. Si pemilik usaha hiburan ini punya anggaran lumayan besar untuk promosi di radio. Sayangnya, ia cuma tahu iklan radio itu ada dua: yang secara live dibacakan penyiar saat siaran (bahasa radionya: adlibs) dan spot atau jingle iklan (iklan yang disiarkan dalam bentuk rekaman).

Padahal sebenarnya ada begitu banyak model promosi yang bisa dilakukan melalui media radio dan yang perlu diketahui calon pengiklan adalah bahwa setiap stasiun radio memiliki kebijakan berbeda dalam proses kreatif pemasangan iklan. Jadi kalau mau efektif beriklan melalui media radio, coba deh ikuti beberapa langkah berikut ini:

Hubungi bagian sales atau marketing atau promosi stasiun yang bersangkutan (karena bagian inilah yang menjadi jembatan antara calon pengiklan dengan bagian program –yang bertanggungjawab atas segala sesuatu yang disiarkan di stasiun tersebut-
Kemukakan kebutuhan promosi anda
(Seharusnya) Bagian sales atau marketing atau promosi akan meminta program director (sebagai penanggungjawab siaran) untuk memberikan masukan ide kreatif promosi (supaya promosi yang anda lakukan nggak melulu adlibs, spot atau jingle saja)


Kalau sampai bagian sales atau marketing atau promosi tidak menyarankan anda bertukar pikiran dengan program director, harap maklum. Terus terang sumber daya manusia di industri radio (barangkali juga di industri media jenis lain) kita (baca: Indonesia) belum semuanya dapat dipertanggungjawabkan. Oleh sebab itu, anda sebagai pihak “yang punya duit” yang sebaiknya meminta bertukar pikiran dengan sang program director. Program director-lah yang nantinya akan merealisasikan mimpi anda untuk mendapatkan promosi yang efektif di radio.

Selamat berpromosi melalui media radio :)



DIGOSOK MAKIN SYIIIIIIIIP…


Pengurus Besar Nahdlatul Ulama mengharamkan tayangan infotainment televisi karena dinilai tergolong ghibah alias bergosip (Koran tempo, 27 Juli 2006). Beberapa waktu kemudian Ketua Majelis Ulama Indonesia, Amidhan menyatakan sependapat dengan fatwa Nahdlatul Ulama yang mengharamkan isi infotainment yang menayangkan aib orang lain (Koran Tempo, 8 Agustus 2006).

Jujur aja nih, saya pernah jadi antek-antek (baca: pekerja lepas) salah satu rumah produksi yang program andalannya adalah infotainment. Lebih jujur lagi, saya juga lumayan rajin nonton infotainment di televisi nasional, lokal, maupun berbayar (baca: televisi kabel). Tapi dari lubuk hati yang paling dalam (kalimat sok serius ini saya ketikan demi menunjukkan kejujuran saya yang teramat sangat J) saya juga sering merasa terganggu dengan berbagai tayangan infotainment yang ada di televisi kita. Sayangnya siapa yang mau peduli dengan terganggunya seorang penyiar radio nggak ngetop yang juga pernah ikut ambil bagian dalam industri infotainment (Sumpah deh, saya cuma jadi narator dan sebelum tandatangan kontrak kerja, katanya program itu bergenre woman’s magazine bukan infotainment), seperti saya J

Yah…apa mau dikata….! Ketika kita hidup di dunia yang semuanya ditentukan dengan selera pasaran (Saya nggak salah ketik! Saya memang sengaja mengetikkan pasaran, bukan pasar J) seperti sekarang, mau tak mau ketidaksukaan segelintir orang yang tidak terhitung melalui penelitian kuantitatif akan dianggap angin lalu. PBNU dan MUI boleh seia-sekata, tapi toh Ilham Bintang pasang dada membela industri yang diciptakannya. Menurut Bintang (Koran Tempo, 27 Juli 2006), sejak 1997 sampai dengan 2006, tayangan infotainment Cek & Ricek yang diproduksinya “hanya” menyiarkan 55 artis yang bercerai.

Daripada kita terlibat dengan perdebatan antara kaum (yang mengaku) agamis dan kaum (yang tidak mengaku) penyebar gossip, mending kita ulik pernyataan Ilham Bintang sang pionir infotainment di Indonesia itu dari sisi penelitian media. Pernyataan Bintang bahwa tayangannya hanya menyiarkan 55 artis yang bercerai sepanjang sembilan tahun bisa dibilang pernyataan yang menyederhanakan permasalahan.

Mari kita lihat: sepanjang sembilan tahun hanya ada 55 artis yang dikabarkan bercerai oleh program hasil kemasan rumah produksi Ilham Bintang. Di Negara yang selebritis-nya sebanyak Indonesia (Gimana nggak banyak….satu kali nongol jadi figuran aja udah bisa masuk infotainment) jumlah tersebut memang tidak besar. Tapi, jangan salah! Kalimat tadi maknanya sangat buram.

Kok bisa buram? Mari kita lihat: misalnya, artis A bercerai. Artis B bercerai. Kalau menurut perhitungan Pak Bintang, kelihatannya contoh-contoh ini akan dihitung sebagai dua artis yang bercerai. Rasanya keponakan saya yang baru masuk TK juga tahu, hasil penjumlahan contoh tadi adalah dua. Sayangnya, keponakan saya, juga sebagian konsumen dan produsen media, tidak tahu (atau belagak tidak tahu) bahwa menghitung isi media tidaklah semudah pelajaran matematika anak TK.

Dalam penghitungan isi media dibutuhkan kemampuan interpretatif dan pengetahuan yang baik atas isi media yang akan dianalisa (Stokes, 2005). Kemampuan ini dibutuhkan karena untuk menganalisa isi media secara ilmiah, kita harus dapat menentukan terlebih dahulu kategori-kategori yang akan dianalisa.

Ilustrasinya: Untuk meneliti seberapa sering berita perceraian artis disiarkan sebuah program infotainment, maka peneliti terlebih dahulu wajib menetapkan periode program siaran yang akan diamati, misalnya: antara tahun 1997 sampai dengan 2006. Lalu berdasarkan tujuan penelitian, peneliti berhak membuat sejumlah kategori, contoh: Untuk mengetahui seberapa banyak tayangan infotainment menyiarkan berita perceraian artis, peneliti bisa membuat kategori penelitiannya atas jumlah pemberitaan kasus perceraian artis yang disiarkan sepanjang periode penelitian. Langkah selanjutnya adalah: peneliti mengamati dan menghitung jumlah tayangan sepanjang periode penelitian yang memberitakan kasus perceraian artis.

Jadi, kalau artis A tanggal 10 Agustus 2006 dilaporkan mengugat cerai istrinya yang dituduh selingkuh. Pada 11 Agustus 2006 istri artis A membuat konferensi pers menampik tuduhan suaminya. Lalu, pada 12 Agustus 2006 artis A dan pengacaranya membuat konferensi pers guna membeberkan bukti adanya perselingkuhan sang istri. Ditambah lagi pada 13 Agustus muncul pernyataan dari mertua artis A, bahwa tuduhan anaknya selingkuh adalah bohong belaka. Lantas diteruskan lagi dengan pemberitaan pada 14 Agustus 2006 yang mengambil potongan wawancara dengan Satpam rumah artis A yang mengaku pernah memergoki artis A “jalan bareng” seorang artis muda berbakat…Mari kita hitung bersama: Berapa kali berita kasus perceraian artis A muncul?

Jumlahnya bukanlah satu artis yang bercerai, melainkan: LIMA KALI, saudara-saudara sekalian! Ini penghitungan sederhananya:

Artis A dilaporkan mengugat cerai istrinya yang dituduh selingkuh.
Istri artis A membuat konferensi pers menampik tuduhan suaminya.
Artis A dan pengacaranya membuat konferensi pers guna membeberkan bukti adanya perselingkuhan sang istri.
Pernyataan dari mertua artis A, tuduhan anaknya selingkuh adalah bohong.
Potongan wawancara dengan Satpam rumah artis A yang mengaku pernah memergoki artis A “jalan bareng” seorang artis muda berbakat.

Dalam lima hari kasus perceraian artis A diberitakan sebanyak lima kali. Ini baru satu artis. Bayangkan kalau dalam waktu sama ada tiga artis yang dalam proses perceraian dan semuanya mendapatkan kesempatan yang sama dengan artis A untuk diberitakan dalam sebuah tayangan infotainment. Ada 15 kali pemberitaan perceraian artis yang muncul dalam 5 hari di sebuah tayangan infotainment. Harap diingat: Ini baru perumpamaan perhitungn pemberitaan kasus perceraian artis dalam satu program infotainment.

Kembali lagi ke pernyataan Ilham Bintang bahwa tayangan infotainment Cek & Ricek yang diproduksinya “hanya” menyiarkan 55 artis yang bercerai, sebagai “pemerhati infotainment”, kita semua harus mencerna dengan kritis hasil penghitungan Bintang. Apakah pernyataan tersebut maksudnya Cek & Ricek betul-betul hanya menayangkan 55 artis yang bercerai atau… sebenanya, Cek & Ricek menyiarkan berita 55 orang artis yang bercerai, lantas mengemasnya ke dalam sejumlah headline dengan penarikan angle yang beranekaragam. Sehingga, total pemberitaan kasus perceraian artis bisa menjadi jauh lebih banyak daripada jumlah artis yang sedang dalam proses perceraian.

Ah….namanya juga gossip. Makin digosok, makin syiiiiip…..