Wednesday, February 27, 2008

PANIK!
Panik! Kelihatannya itu satu kata yang tepat mendeskripsikan kondisi pekerja media Indonesia waktu mengetahui Mantan Presiden Kedua RI, Jendral Besar H.M. Soeharto meninggal dunia pada 27 Januari 2008 lalu .

Setidaknya itulah kesan yang saya tangkap melalui layar kaca . Barangkali media jenis lain pun sama paniknya, cuma kebetulan saya hari itu hanya menyimak televisi :) Jadi pekerja televisi sajalah yang saya tangkap kepanikannya.

Misalnya, ada stasiun televisi swasta yang reporternya berdiri di depan sebuah ambulans. Lantas sang reporter melaporkan (kurang lebih), " Inilah ambulans yang akan digunakan mengangkut jenazah mantan presiden kedua RI...." Eh, tahunya mendadak ambulans tersebut bergerak dan tertangkap oleh kamera bahwa ambulans itu adalah ambulans kosong.

Belum lagi reporter stasiun televisi swasta lainnya, salah menyebut nama sejumlah pelayat yang datang ke RSPP. Atau salah seorang news anchor di sebuah stasiun televisi swasta yang dengan entengnya memotong laporan langsung reporter yang bertugas karena disangka rombongan pembawa jenazah sudah datang. Lantas langsung diralat begitu terlihat di layar kaca bahwa yang datang bukanlah rombongan pembawa jenazah Pak Harto.

Banyak pula reporter atau news anchor yang menarik asumsi. Misalnya, ada yang melaporkan: "Kelihatannya jenazah akan disemayamkan di Cendana, untuk kemudian diterbangkan ke solo. Kemungkinan akan disemayamkan dulu di Ndalem Kalitan...."

Beberapa contoh di atas memang tidak berakibat fatal. Hanya saja cukup mengganggu dan sekaligus membuktikan media kita sepertinya tak punya standar operasional pelaporan berita yang ajeg. Di sisi lain, memang pemerintah RI pun tak punya standar operasional pemakaman mantan presiden seperti di beberapa negara lain. Sehingga run down acara pun sulit tertebak.

Tapi, bukankah pekerjaan media adalah "mencari dan melaporkan" berita sehingga publik bisa memperoleh informasi? Sehingga ketidaksiapan mestinya menjadi kata yang haram bagi pekerja dan institusi media. Jika media tak siap memberitakan sesuatu, terus publik mau tahu informasi dari mana dong?

Wednesday, February 13, 2008

Waktu ku Kecil


"Waktu ku kecil hidupku amatlah senang,
Senang dipangku dipangku dipeluknya,
Serta dicium dicium dinamakan,
Namanya kesayangan"


Masih ingat lirik lagu di atas? Judulnya sampai sekarang saya nggak tahu pasti sebetulnya, tapi lirik tersebut berulang kali terngiang di kepala saya setelah menyaksikan acara Idola Cilik Seleb di RCTI Minggu 10 Febriati 2008 lalu.


Awalnya, terhibur juga dengan penampilan beberapa peserta anak-anak (yang dikategorikan selebriti oleh pihak pembuat program) yang berani tampil di atas panggung. Walaupun tidak semua pesertanya bisa menyanyi.

Sampailah pada giliran salah satu peserta yang tampil membawakan lagu dangdut. Bukan masalah lagu dangdutnya, melainkan karena si peserta (Kesha, namanya) menyanyikan lagu dangdut dengan gaya orang dewasa. Maksud saya, anak yang rasanya belum akil balik ini, menyanyikan lagu dangdut dengan menggoyang-goyangkan pinggul dan dadanya, seperti layaknya penyanyi dangdut dewasa. Tidak berhenti di situ kekagetan saya, sebab ketika diinterview oleh Oki Lukman (pembawa acara) setelah bernyanyi Kesha mengakui bahwa pemilihan lagu dangdut adalah atas saran dari Bunda-nya (entah siapa yang dimaksud dengan Bunda di sini, ibunya atau orang dewasa lain yang disapanya dengan bunda). "Wah....jangan-jangan, koreografi egal-egol cara penyanyi dangdut dewasa pun disarankan oleh sang Bunda", batin saya.

Kontestan lain, walau tak muncul dengan koreografi egal-egol, juga membuat saya dan penonton lain yang bmenyaksikan program tersebut di rumah Nenek saya, berkomentar: " Emang nggak ada lagu anak-anak yang bisa dinyanyiin, ya?" Komentar muncul, karena seluruh peserta menyanyikan lagu berlirik dewasa. Satu-satunya yang membawakan lagu anak-anak pada episode tersebut (sepanjang pengelihatan dan pendengaran saya) adalah Matta Band sebagai bintang tamu.

Lebih menyedihkan lagi karena, setiap selesai kontestan menyanyikan lagu, lantas pembawa acara mengundang pemirsa (yang mestinya berusia anak-anak, karena ini kan program anak-anak) mengirim SMS untuk mendukung idola favoritnya ke nomor sms premium. Bukan cuma itu, ada hadiah 1,5 juta rupiah pula untuk pengirim sms yang beruntung. Luar biasa! kecil-kecil sudah diiming-imingi hadiah dengan cara begitu mudah, tanpa kerja keras.

Waktu saya kecil, mimpi saya adalah suatu hari Pak Tino Sidin akan menampilkan gambar yang saya kirim (walau nggak pernah juga saya kirim) di layar kaca. Waktu kecil, bangga rasanya melihat kakak saya muncul di acara Taman Indria asuhan Bu Kasur dengan mengenakan baju kurung dan tanduk khas pakaian Minangkabau di kepalanya. Waktu saya kecil, ingin rasanya bisa main piano seperti Bu Meinar di Acara Ayo Menyanyi (Bener nggak nih nama acaranya, ya?).

Mimpi memang akan selalu berkembang sesuai perkembangan zaman. Anak saya mungkin tak akan puas hanya melihat gambarnya sekilas saja diekspose di televisi seperti cara Pak Tino dulu. Anak jaman sekarang barangkali sulit disenangkan hanya dengan dipangku dan dipeluk seperti lirik lagu di awal tulisan ini. Saat kanak-kanak mimpi kita adalah ingin cepat besar. Saat kita dewasa, tak jarang kita mempertanyakan: Mengapa masa kecil kita cepat berlalu. Sebagai orang dewasa...tegakah kita membiarkan anak-anak menjadi dewasa sebegitu cepatnya?