Tuesday, November 27, 2007


KABAR (Mudah-Mudahan) GEMBIRA

Kemarin saya mendengar iklan radio mengenai citizen journalism Harian Republika. Intinya, harian ini mengajak pembacanya mengirimkan materi berita, bisa foto ataupun tulisan untuk dipublikasikan melalui Harian Republika.


Mengutip tulisan di republika.co.id (Genre Baru Bernama Citizen Journalism, Rabu, 07 Nopember 2007) , Nicholas Lemann, profesor di Columbia University Graduate School of Journalism, mencatat: Kelahiran jurnalisme publik (citizen journalism) dimulai melalui gerakan pada Pemilu Amerika Serikat 1988. Saat itu publik kehilangan kepercayaan terhadap media mainstream seputar pemilihan presiden AS. Di Asia, Oh May News mengalami sukses luar biasa juga dipicu oleh pemilihan presiden Korsel.


Artikel dalam Online Journalism Review (2003), oleh J. D. Lasica (http://en.wikipedia.org/wiki/Citizen_journalism) menerangkan ada berbagai bentuk citizen journalisme: 1) Partisipasi Audience, misal: komentar atas berita yang dipublikasi sebuah media, suara anda di Metro TV, Surat Pembaca di Kompas, kolom comment pada blog adalah beberapa diantaranya), 2) Berita dan informasi independen dari website, 3) Full-fledged participatory news sites misal: OhmyNews, 4) Collaborative and contributory media sites, misal: Slashdot, Kuro5hin, 5) Jenis lain dari thin media, seperti mailing lists atau email newsletters, dan 6) Personal broadcasting sites, misal: video broadcast sites.


Artikel di republika.co.id (Genre Baru Bernama Citizen Journalism, Rabu, 07 Nopember 2007) menggambarkan Citizen Journalism sebagai bentuk perlawanan. Baik terhadap hegemoni dalam merumuskan dan memaknai kebenaran, dominasi informasi oleh elite masyarakat, sampai perlawanan terhadap tatanan peradaban yang makin impersonal. Lebih lanjut artikel tersebut memuji citizen journalism sebagai penemuan kembali kemanusiaan, persahabatan, dan kekeluargaan.

Itu gambaran sempurnanyal. Nyatanya, penerapan Citizen Journalism di Harian Republika hasil reportase pembaca hanya dipublikasikan pada edisi ahad setelah diseleksi redaksi. Untuk Suara Anda di Metro TV hanya segelintir suara yang bisa tersiarkan. Coba kirim Surat Pembaca di KOMPAS, mudah-mudahan bisa termuat. Bahkan di blog pun jika sang administrator tak suka dengan komentar kita, komentar tersebut bisa di hadang ter-up load. Banyak alasan mengapa tetap ada praktek hadang-menghadang dalam Citizen Journalism, diantaranya keterbatasan waktu siar atau halaman untuk mencetak, faktor kepentingan untuk publik, sampai faktor muatan informasi atau berita mana yang lebih menguntungkan jika dipublikasikan oleh sang administrator (atau istilah-istilah lain dari si "penghadang" informasi dari publik).

Walau demikian, semangat ber-citizen journalism patut terus disosialisasikan Daripada terus menerus menerima muatan media yang seluruhnya dipasok sekelompok pemilik modal dan atau kekuasaan. Namanya juga hidup, mana ada yang sempurna....

Friday, November 23, 2007

BAK KERBAU DICUCUK HIDUNG
Kemarin juru masak ibu saya berniat mempraktekkan resep baru yang didapatnya dari program masak-memasak di salah stasiun televisi swasta (Sayang saya lupa stasiun televisi dan nama programnya). Sederhana resepnya, terong goreng tepung. Masalahnya ia berkeras mau menggunakan sebuah tepung serbaguna bermerk tertentu yang identik dengan salah satu merek bumbu penyedap makanan (yang tentunya ber-MSG). Heran juga ibu saya, kenapa spesifik produk itui? Padahal juru masak tidak pernah menggunakan produk tersebut. "Soalnya, di resepnya pakai tepung itu....", jelas juru masak ibu saya dengan polos.
Oalah....., tentunya sang juru masak tidak paham kenapa sampai di resep tersebut penting disebutkan merek tepung serbaguna tertentu.
Di jaman serba kejar uang seperti sekarang sejumlah media berusaha "menjual" space iklannya lebih kreatif dan yang punya duit (baca: pengiklan) pingin produk atau jasanya makin lancar terjual. Salah satu taktik adalah membuat program atau tulisan yang seakan tidak disusupi muatan iklan. Padahal sebenarnya media dan pengiklan berkongsi memasukan muatan informasi produk atau jasa sang pengiklan secara halus (soft sell). Contohnya ya...program masak memasak yang tiap hari disaksikan hampir semua perempuan yang tinggal di rumah ibu saya.
Namanya boleh soft sell, tapi dampaknya bisa lebih besar daripada hard sell. Ketimbang memasang spot iklan dan bersaing dengan sekian banyak produk atau jasa sejenis untuk bisa diingat oleh target konsumen, mending menciptakan program (istilah keren media penyiarannya: blocking time) yang disusupi pesan-pesan untuk menggunakan produk atau jasa yang hendak disosialisasikan. Bayangkan berapa banyak yang secara tak sadar mengikuti resep dan menggunakan tepung serbaguna bermerk tertentu di program yang disaksikan juru masak ibu saya itu.
Itu baru satu produk di satu program. Seorang senior saya di masa jayanya sebagai penyiar radio, dalam empat jam siaran membacakan iklan baca (adlibs, bahasa penyiarannya) minimal empat buah. Di masa itu, apa yang "diceritakan" senior saya ini, sebagian besar "ditelan bulat-bulat" pendengar setianya. Bahkan saya sempet jadi saksi telinga (karena melalui radio) sekedar bercerita baru makan martabak yang enak banget, pendengar langsung telepon ke studio khusus menanyakan di mana tuh martabak yang uenak tenan-nya dijual? Padahal si tukang martabak boro-boro pasang iklan. Sadar lagi diomongin aja nggak.
Sampai detik ini, saya masih sangat percaya media punya dampak besar terhadap isi kepala audience-nya. Apalagi untuk kasus negara dengan populasi manusia cerdas yang masih menyedihkan seperti Indonesia.
Jangan sampai kita jadi bak kerbau dicucuk hidungnya....

Tuesday, November 20, 2007

Kemana Harus Mengadu?



KOMPAS 19 November 2007 di headline-nya "Dari Lingkungan yang Salah Mereka Meniru...." memuat kutipan pernyataan Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Fetty Fajriati Miftach berkaitan dengan aksi kekerasan di televisi. " KPI tidak memiliki wewenang terhadap program televisi yang menayangkan acara kekerasan karena berkaitan dengan produk dan kebebasan pers yang tidak boleh dimatikan", demikian menurut Fetty. "Namun, bila tayangan tersebut mempertontonkan gambar yang tidak layak dilihat, sadis, atau porno, kami baru bereaksi dan menegur stasiun televisi yang menayangkannya dan juga Dewan Pers", lanjutnya.

Aneh, kok pernyataan pertama dan kedua sepertinya bertentangan? Pernyataan pertama menyatakan bahwa KPI tidak punya wewenang atas acara kekerasan karena berhubungan dengan kebebasan pers. Di pernyataan kedua narasumber yang sama menyatakan kalau mempertontonkan gambar yang tidak layak dilihat, sadis, atau porno, KPI bisa bereaksi.

Padahal, undang-undang penyiaran tahun 2002 pasal 35 (5b) menjelaskan bahwa: Isi siaran dilarang menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkoba, dan obat terlarang.

Mudah-mudahan sih cuma saya yang salah memahami pesan yang disampaikan Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) ini saja. Sebab jika benar KPI tidak berwenang atas acara yang bermuatan kekerasan demi dalih kebebasan pers, lantas harus kemana lagi publik (sebagai PEMILIK FREKUENSI) mengadu?

Wednesday, November 14, 2007

TV: SAHABAT ATAU MUSUH
Koran Tempo hari ini memuat hasil penelitian University of California, Rady's Children Hospital, dan University of South Alabama di Amerika Serikat. Kesimpulannya: Menonton televisi tak hanya berhubungan dengan obesitas pada anak, tapi juga berisiko mencetuskan darah tinggi. Katanya, anak yang banyak menonton televisi terlalu banyak duduk, diam, kurang bergerak, sehingga terbuka peluang mengalami kegemukan, termasuk darah tinggi.
Sementara itu, di Majalah Mother & Baby Indonesia edisi Bulan ini, ada kutipan hasil penelitian yang kurang lebih menyimpulkan bahwa dengan menonton televisi, perkembangan anak akan lebih maksimal. Memang di artikel tersebut dijelaskan, bahwa anak harus diajak berkomunikasi saat sedang menonton televisi.
Sama seperti memilih sahabat, setiap orang punya pertimbangan masing-masing. Begitupula dengan pertimbangan anda dalam menetapkan televisi. Sahabat atau musuh keluarga?

Thursday, November 08, 2007


SEMUA UNTUK JAKARTA*


Kalau ada yang sedang membuat analisa isi media di Indonesia, saya rasa topik yang sedang in adalah : Kemacetan Jakarta. Memang benar, kemacetan di seputaran Jakarta makin menggila. Benar, bahwa banyak warga yang terhambat aktivitasnya. Benar, kemacetan Jakarta menyebabkan kerugian materiil dan imateriil yang besar.

Lantas, mana serampangannya? Bencana di Gunung Kelud, Semeru, Anak Krakatau bisa dan sudah menimbulkan korban yang juga warga negara Indonesia. Entah ada yang peduli atau tidak. Operasi yustisi di (lagi-lagi) DKI Jakarta menyebabkan sejumlah orang yang hanya berusaha mencari setengah (saking sedikitnya keberuntungan yang bisa diperoleh) sendok nasi untuk keluarganya dipulangkan ke desanya dan menjadi pengangguran (padahal ada yang katanya sudah bekerja bertahun-tahun di ibukota dan nggak punya administrasi kependudukan yang lengkap karena nggak tahu bahwa untuk kerja butuh syarat administrasi kependudukan -suatu bukti bahwa informasi adalah barang mahal di negara ini). Belum lagi isu lain, seperti pejabat pemerintah yang mendadak harta kekayaannya bertambah secara drastis.

Tapi siapa mau peduli? Jakarta kan pusat pembangunan (Loh, katanya sudah ada otonomi daerah?). Jakarta kan kota tersibuk di Indonesia. Jakarta kan pusat pemerintahan. Ah, mudah-mudahan cuma asumsi saya bahwa isi media masih didominasi "Ke-jakarta-an". Kalau begitu, jangan main angkut pulang para pendatang dong, lah wong yang mereka tahu cuma tentang Jakarta melulu.

* Thx buat munchkikins buat ide topik ini :)