Friday, October 12, 2007

Sahur Mubazir
Sahur terakhir ramadhan kali ini, saya menonton tayangan sahur di salah satu televisi swasta. Saatnya Kita Sahur, itu kalau tidak salah nama programnya. Tidak ada yang baru. Lawakan standar yang diramu kuis, kelihatannya masih jadi pilihan stasiun tersebut. Yang menyebalkan adalah di layar kaca, saya melihat para pemain di acara tersebut saling lempar makanan (yang berupa kue atau roti). Becanda sih maksudnya. Tapi kok tega sih buang-buang makanan, saat harga bahan pokok melambung, banyak orang tidak bisa berbelanja baju baru karena harga yang melonjak, dan pemulung dan pengemis membanjiri ibukota.
Acara tersebut memang ditayangkan secara live, tapi saya percaya tidak ada yang namanya spontan di media. Semua sudah dibuat dengan standar masing-masing media yang tidak boleh terlepas dari dasar hukum di mana media tersebut disebarluaskan. Kalaupun pihak media mau berdalih bahwa adegan lempar-lemparan makanan tersebut dilakukan spontan saja, manajemen yang bertanggung jawab atas apa yang disebarluaskan medianya.
Ingat kejadian Janet Jackson "pamer payudara" di super bowl beberapa tahun lalu? FCC di Amerika Serikat mengeluarkan teguran keras kepada jaringan televisi yang menjadi pemegang lisensi penyiaran super bowl kala itu. Setelah kasus tersebut bahkan stasiun yang bersangkutan harus menyiarkan dengan penundaan beberapa detik siaran live demi "keamanan" tayangan yang disiarkannya karena super bowl ditayangkan kala prime time.
Pihak watchdog di Indonesia masih kurang galak nih kayaknya!

...4nd CANDIDATES
Jangan diperbaiki ya judul di atas! Soalnya itu adalah potongan sebuah headline di sebuah majalah ABG perempuan edisi Oktober 2007 (mudah-mudahan saya benar menebak target pembaca majalah tersebut). Mudah-mudahan kesalahan penulisan headline tersebut (semest inya tertulis 4th) hanyalah masalah "kelupaan" mengedit dari redaksi majalah yang bersangkutan, bukan karena ketidak tahuan mengenai penggunaan bahasa asing yang tepat.
Padahal, kalau memang mau gampang, kenapa juga ngga ditulis dalam Bahasa Indonesia. Kan sirkulasinya juga cuma di Indonesia, bagi pembaca yang bisa berbahasa Indonesia. Selain malu ketahuan ngga bisa berbahasa Inggris dengan baik, hitung-hitung menggalakkan penggunaan Bahasa Indonesia melalui medianya.
Sebetulnya bukan cuma majalah tersebut yang sembarang menggunakan bahasa asing, karena sejumlah media lain pun memilih menggunakan bahasa asing ketimbang bahasa ibunya. Mau going global atau menunjukkan positioning medianya sebagai media kelas atas adalah beberapa diantara berbagai alasan yang dikemukakan para pekerja media. Lebih sadis lagi tuduhan teman saya, yang sempat menjabat general manager di sebuah stasiun radio swasta, "Bahasa Indonesia itu kosa katanya sedikit sih." Teman saya ini pasti tidak tahu kalau Bahasa Betawi - yang turut memperkaya kosa kata Bahasa Indonesia - sampai punya kata tersendiri untuk menggambarkan kesalahan mengancingkan baju sehingga batas bawah kemeja tidak rata.
Coba simak sejumlah stasiun radio atau program televisi yang diperuntukkan bagi kalangan menengah atas, sebagian besar akan menyisipkan bahasa asing di antara Bahasa Indonesia yang digunakan sebagai alat penyampaian pesan resminya. Sering kita dengar sejumlah artis atau non artis menyebut kata ENTERTAIN bukan entertainment. Misalnya, "Saya kan terjun dalam bidang entertain...." (baca: entertainment, maksudnya),. Atau yang sempat heboh beberapa tahun lalu adalah saat seorang selebritas mengatakan (di depan kamera & disiarkan melalui televisi nasional), "Who do you think he are?"
Seorang profesor bidang Ilmu Budaya pernah bercerita bahwa sebenarnya sudah banyak buku atau kamus yang dikeluarkan secara resmi untuk membahasa Indonesiakan sejumlah istilah asing tapi pengaplikasiannya masih jauh dari memuaskan. Sewaktu sang profesor bercerita, sebetulnya saya ingin menjawab, "Jangan-jangan pihak pembuat penyesuaian istilah pun kurang gigih mempublikasikan keberadaan buku-buku atau kamus-kamus tersebut." Tapi sebagai praktisi media saya lalu berpikir lagi, "Jangan-jangan orang-orang media seperti saya inilah yang , malas membaca untuk tahu mengenai informasi tersebut."
Pekerja media kerap lupa, salah satu fungsi media adalah: mendidik (to educate). Kalau medianya masih sembarangan berbahasa, bisa-bisa masyarakatnya pun akan sembarangan berbahasa. Beberapa tahun lalu mahasiswa saya mempertanyakan, kenapa majalah-majalah (dan juga media lainnya) yang dibacanya gemar menyisipkan kata-kata asing yang tidak penting dalam kalimat berbahasa Indonesia, apakah hanya demi gaya-gayaan? Ayo...siapa pekerja media yang siap menjawab pertanyaan mahasiswa saya ini dari hati nurani terdalam? ;) Daripada salah jawab, gimana kalau kita sama-sama bikin kampanye pengenalan Bahasa Indonesia yang baik bagi masyarakat?

Wednesday, October 10, 2007

Lanjutkan Perjuangan!
(Mengenang 40 Hari Wafatnya Zainal A Suryokusumo)
Hampir dua minggu setelah almarhum meninggal dunia (akibat kanker kelenjar getah bening yang baru terdiagnosa dua bulan sebelumnya), seorang pengajar ilmu komunikasi bilang: "(Semua) Orang penyiaran pasti kenal Pak Zainal", begitu ia menyadari nama belakang saya Suryokusumo. Aneh, setelah ayah, guru, sahabat, & lawan debat saya meninggal, saya seperti baru tahu bahwa seorang Zainal A Suryokusumo (atau biasa disapa Bang Zen, Babe, Bung Daktur) adalah big thing bagi banyak orang.
"Ngapain kamu kerja di radio?", itu kalimat almarhum waktu dengan bangganya saya bercerita tentang diterimanya saya sebagai penyiar di sebuah stasiun radio swasta papan atas. Sekitar sembilan tahun kemudian, saat terbaring sakit di ICU RS MMC, almarhum menuliskan di selembar kertas (karena tidak bisa bicara akibat harus menggunakan alat bantu pernapasan): "Jangan kecil hati", lalu dengan tangannya yang masih sulit berkoordinasi dengan keinginannya berkomunikasi, almarhum menulis lagi: "Kita sama-sama siaran".
Sebenarnya sampai almarhum wafat 30 Agustus 2007, saya belum mengerti apa maksud tulisan-tulisan pendeknya. Interpretasi pesan sangat tergantung dari penerimanya. Jadi mudah-mudahan sah saja kalau saya menginterpretasikan tulisan-tulisan pendek almarhum di ICU tadi sebagai penyemangat bagi saya, bahwa bekerja di radio tidaklah seburuk yang pernah disampaikannya kepada saya.
Uniknya, walau anak-anaknya selalu berusaha dijauhkan dari kemungkinan bekerja di dunia penyiaran, nyatanya 2 dari 3 anaknya pernah & masih bekerja di dunia yang dibenci sekaligus dicintainya itu. Barangkali almarhum mau menyampaikan pada kami, " Biar Mama saja (begitu saya memanggilnya) yang berurusan dengan dunia penyiaran indonesia yang nggak pernah jelas ini".
Usahanya menghalangi putri-putrinya bekerja di dunia penyiaran tidak menghalangi semangatnya membenahi dunia penyiaran dan kebebasan perolehan informasi bagi semua. Tak heran beberapa minggu menjelang sakit pun almarhum masih sibuk bertugas keluar kota. Kesibukan yang semasa kecil tidak pernah saya mengerti, "Kenapa Mama sibuk tapi nggak pernah bisa sebanyak uang & sengetop orang lain?"
Semasa hidupnya, rasanya banyak yang sudah saya pelajari dari almarhum. Sepeninggalannya, saya justru merasa terlalu banyak yang belum saya pelajari darinya. Sampai hari-hari terakhir hidupnya pun, saya masih tidak tahu dari mana harus memulai mengumpulkan pemikiran-pemikirannya yang tersebar di belasan note book, sebuah laptop yang rusak LCD-nya, ratusan karya tulis, dan sebuah flash disk.
Almarhum masih sempat berpesan ke sejumlah sahabatnya untuk melanjutkan perjuangnya yang pernah dimulainya. " Saya bekerja untuk cucu & cicit saya", demikian salah satu kalimat almarhum yang selalu saya ingat, saat berdebat tentang RUU Penyiaran (yang sekarang menjadi UU Penyiaran) dengan seorang lawan bicaranya melalui telepon genggam.
Banyak ilmu almarhum yang belum saya pelajari untuk ketahui. Saya hanya tahu bahwa saya bersyukur menjadi putrinya.
LIBUR T'LAH TIBA

Libur lebaran sudah mulai. Mulai juga sebagian orang tua dipaksa memutar otak supaya anaknya bisa menikmati liburannya secara positif. Yang paling murah sih, biarkan anak anda di rumah sambil ditemani "sahabat" manusia jaman sekarang: televisi.

Murah bukan berarti bebas was-was. Coba anda perhatikan beberapa sinetron yang sedang naik tayang. Ada yang tokoh utamanya kalau kehilangan kesabaran berubah jadi seperti monyet. Ada yang tokoh utamanya masih pakai seragam sekolah sudah duduk dempet-dempetan sama lawan jenisnya. Ada juga yang ceritanya mengaku diangkat berdasarkan nilai-nilai agama tertentu, tapi kalau benar-benar kita simak....kok malah kayak film horor. Ada setannya lah, mahluk jadi-jadian lah, dan mahluk-mahluk irasional lainnya.

Alhamdulillah jika anda mampu menghadirkan fasilitas televisi berlangganan bagi buah hati. Acaranya jauh lebih mending. Eits, nanti dulu! Chanel untuk televisi berlangganan yang sengaja diperuntukkan bagi kalangan terbatas, tentunya juga harus kita konsumsi dengan bijak. kalau anak kita yang masih di bawah umur nonton chanel yang bukan untuk usianya, efek sampingnya ditanggung orangtua & si anak loh! Sebab televisi berlangganan kan datang ke hadapan kita atas permintaan pribadi. Jadi efek sampingnya, ya ditanggung sendiri juga dong. Nggak heran sejumlah televisi berlangganan sekarang menjual fasilitas parental lock, demi perasaan lebih aman bagi orang tua membiarkan anaknya menonton televisi sampai sepuasnya. Padahal kalau sudah di lock pun, apa sehat tuh nonton televisi seharian?

Ayo.....jadinya mau ngapain nih libur lebarannya? ;)