PANIK!
Setidaknya itulah kesan yang saya tangkap melalui layar kaca . Barangkali media jenis lain pun sama paniknya, cuma kebetulan saya hari itu hanya menyimak televisi :) Jadi pekerja televisi sajalah yang saya tangkap kepanikannya.
Misalnya, ada stasiun televisi swasta yang reporternya berdiri di depan sebuah ambulans. Lantas sang reporter melaporkan (kurang lebih), " Inilah ambulans yang akan digunakan mengangkut jenazah mantan presiden kedua RI...." Eh, tahunya mendadak ambulans tersebut bergerak dan tertangkap oleh kamera bahwa ambulans itu adalah ambulans kosong.
Belum lagi reporter stasiun televisi swasta lainnya, salah menyebut nama sejumlah pelayat yang datang ke RSPP. Atau salah seorang news anchor di sebuah stasiun televisi swasta yang dengan entengnya memotong laporan langsung reporter yang bertugas karena disangka rombongan pembawa jenazah sudah datang. Lantas langsung diralat begitu terlihat di layar kaca bahwa yang datang bukanlah rombongan pembawa jenazah Pak Harto.
Banyak pula reporter atau news anchor yang menarik asumsi. Misalnya, ada yang melaporkan: "Kelihatannya jenazah akan disemayamkan di Cendana, untuk kemudian diterbangkan ke solo. Kemungkinan akan disemayamkan dulu di Ndalem Kalitan...."
Beberapa contoh di atas memang tidak berakibat fatal. Hanya saja cukup mengganggu dan sekaligus membuktikan media kita sepertinya tak punya standar operasional pelaporan berita yang ajeg. Di sisi lain, memang pemerintah RI pun tak punya standar operasional pemakaman mantan presiden seperti di beberapa negara lain. Sehingga run down acara pun sulit tertebak.
Tapi, bukankah pekerjaan media adalah "mencari dan melaporkan" berita sehingga publik bisa memperoleh informasi? Sehingga ketidaksiapan mestinya menjadi kata yang haram bagi pekerja dan institusi media. Jika media tak siap memberitakan sesuatu, terus publik mau tahu informasi dari mana dong?
No comments:
Post a Comment