...4nd CANDIDATES
Jangan diperbaiki ya judul di atas! Soalnya itu adalah potongan sebuah headline di sebuah majalah ABG perempuan edisi Oktober 2007 (mudah-mudahan saya benar menebak target pembaca majalah tersebut). Mudah-mudahan kesalahan penulisan headline tersebut (semest inya tertulis 4th) hanyalah masalah "kelupaan" mengedit dari redaksi majalah yang bersangkutan, bukan karena ketidak tahuan mengenai penggunaan bahasa asing yang tepat.
Padahal, kalau memang mau gampang, kenapa juga ngga ditulis dalam Bahasa Indonesia. Kan sirkulasinya juga cuma di Indonesia, bagi pembaca yang bisa berbahasa Indonesia. Selain malu ketahuan ngga bisa berbahasa Inggris dengan baik, hitung-hitung menggalakkan penggunaan Bahasa Indonesia melalui medianya.
Sebetulnya bukan cuma majalah tersebut yang sembarang menggunakan bahasa asing, karena sejumlah media lain pun memilih menggunakan bahasa asing ketimbang bahasa ibunya. Mau going global atau menunjukkan positioning medianya sebagai media kelas atas adalah beberapa diantara berbagai alasan yang dikemukakan para pekerja media. Lebih sadis lagi tuduhan teman saya, yang sempat menjabat general manager di sebuah stasiun radio swasta, "Bahasa Indonesia itu kosa katanya sedikit sih." Teman saya ini pasti tidak tahu kalau Bahasa Betawi - yang turut memperkaya kosa kata Bahasa Indonesia - sampai punya kata tersendiri untuk menggambarkan kesalahan mengancingkan baju sehingga batas bawah kemeja tidak rata.
Coba simak sejumlah stasiun radio atau program televisi yang diperuntukkan bagi kalangan menengah atas, sebagian besar akan menyisipkan bahasa asing di antara Bahasa Indonesia yang digunakan sebagai alat penyampaian pesan resminya. Sering kita dengar sejumlah artis atau non artis menyebut kata ENTERTAIN bukan entertainment. Misalnya, "Saya kan terjun dalam bidang entertain...." (baca: entertainment, maksudnya),. Atau yang sempat heboh beberapa tahun lalu adalah saat seorang selebritas mengatakan (di depan kamera & disiarkan melalui televisi nasional), "Who do you think he are?"
Seorang profesor bidang Ilmu Budaya pernah bercerita bahwa sebenarnya sudah banyak buku atau kamus yang dikeluarkan secara resmi untuk membahasa Indonesiakan sejumlah istilah asing tapi pengaplikasiannya masih jauh dari memuaskan. Sewaktu sang profesor bercerita, sebetulnya saya ingin menjawab, "Jangan-jangan pihak pembuat penyesuaian istilah pun kurang gigih mempublikasikan keberadaan buku-buku atau kamus-kamus tersebut." Tapi sebagai praktisi media saya lalu berpikir lagi, "Jangan-jangan orang-orang media seperti saya inilah yang , malas membaca untuk tahu mengenai informasi tersebut."
Pekerja media kerap lupa, salah satu fungsi media adalah: mendidik (to educate). Kalau medianya masih sembarangan berbahasa, bisa-bisa masyarakatnya pun akan sembarangan berbahasa. Beberapa tahun lalu mahasiswa saya mempertanyakan, kenapa majalah-majalah (dan juga media lainnya) yang dibacanya gemar menyisipkan kata-kata asing yang tidak penting dalam kalimat berbahasa Indonesia, apakah hanya demi gaya-gayaan? Ayo...siapa pekerja media yang siap menjawab pertanyaan mahasiswa saya ini dari hati nurani terdalam? ;) Daripada salah jawab, gimana kalau kita sama-sama bikin kampanye pengenalan Bahasa Indonesia yang baik bagi masyarakat?
No comments:
Post a Comment