Wednesday, July 05, 2006

MEDIA MELAKUKAN EFISIENSI, SUDAH BIASA...,
TAPI KALAU KONSUMENNYA IKUT-IKUTAN?



Jam makan siang kemarin, saya sempat ngobrol dengan seorang teman yang punya production house. Setelah ngobrol ngalor-ngidul, teman saya bercerita tentang kisah suksesnya memproduksi sebuah program televisi yang sedang ditayangkan salah satu televisi swasta nasional di Indonesia. Rating programnya baik, iklan ok, tapi……, menurut pria yang sudah belasan tahun berbisnis production house ini, hasil produksi (sebagian) program televisi yang di outsource ke production house seperti kembali ke kualitas lima tahun lalu.

Kualitas yang menurun, menurut pengamatannya bukanlah disebabkan oleh penurunan kualitas pekerja production house tapi lebih dikarenakan pihak production house berusaha keras menekan biaya produksi. “Bayangin, tan! Saya pernah kasih harga 25 juta (tanpa mark up) untuk produksi eh…ada yang berani kasih harga 7,5 juta!”

Tidak akan ada ayam kalau tidak ada telur. Production house tidak akan menekan harga habis-habisan kalau tidak ada pemicu. Kembali ke cerita teman saya itu, production house menekan harga mati-matian terutama dikarenakan ingin programnya diambil oleh stasiun televisi tergabung dengan sebuah kelompok media besar. Dengan demikian, akses menjual program ke televisi, atau media lain, dan juga bisnis pendukung media (production house atau advertising agency, misalnya) yang dimiliki konglomerasi media yang bersangkutan, juga biasanya makin mudah. Nggak apa menekan harga (yang alih-alih menurunkan kualitas) demi bisa masuk media yang dimiliki sebuah raksasa media.

Praktek sebagaimana yang anda baca di paragraf sebelumnya, biasa disebut sebagai konsentrasi kepemilikan media. Salah satu tujuan konsentrasi kepemilikan adalah efisiensi biaya. Konotasi kata efisiensi mestinya, tidak harus negatif. Sayangnya kebanyakan praktek konsentrasi kepemilikan menunjukkan bahwa efisiensi = negatif.

Negatif sebab dengan efisiensi sering menyebabkan mengerucutnya jumlah pegawai karena dua perusahaan media di merger jadi satu. Negatif karena efisiensi menyebabkan banyak perusahaan media membangun bisnis medianya dari barang mentah sampai barang jadi (bukan cuma punya stasiun televisi tapi juga punya production house sehingga biaya produksi bisa ditekan, contohnya. Kan, sister company…) yang akhirnya menyebabkan orang atau organisasi di luar kerajaan bisnis media tersebut sulit menembus masuk.

Ilustrasi negatifnya efisiensi di atas, kalau saya teruskan bisa bikin mata kita berair (saking banyaknya daftar hal negatif dari efisiensi dalam bisnis media). Untuk mengembalikan tulisan ini ke obrolan makan siang saya kemarin, coba kita lihat apa korelasinya antara efisiensi dengan kita-kita ini yang doyan (atau nggak punya pilihan) mengkonsumsi media.

Tren manajemen media jaman sekarang di seluruh dunia adalah melakukan konsentrasi kepemilikan. Daripada punya satu stasiun broadcast mending punya beberapa, supaya profit makin besar. Daripada outsource materi berita mending bikin kantor berita sendiri…supaya harga bisa ditekan. Daripada susah-susah bikin kreatif program bikin siaran relay aja sama stasiun lain yang sudah punya program baru. Lebih irit & nggak usah pusing cari berita.

Kalimat-kalimat di atas adalah kalimat yang akan keluar jika kita memandang konsentrasi kepemilikan dari sisi pebisnis. Sementara nasib kita konsumen media adalah menikmati segala hasil efisiensi yang disajikan media saat ini. Bayangkan jika di awal tulisan saya mengilustrasikan ada production house yang berani menekan harga di bawah separuh harga normal produksi , betapa (cenderung) dibawah rata-ratanya hasil produksi mereka? Supaya lebih mudah membayangkan, cobalah saksikan beberapa program di televisi saat ini. Ada reality show yang gambarnya seperti diambil dengan handycam (jangan-jangan memang mereka syutingnya pakai handycam. Kan supaya murah…). Ada yang suaranya kurang jelas dan lebih banyak suara ruangnya (baca: seperti kita bicara di dalam gua alias gaungnya besar) dan hasil-hasil produksi seadanya yang lain.

Bisnis media kelihatannya makin seksi di mata pelaku bisnis. Nggak heran, seorang veteran broadcaster yang sekarang jadi aktivis pernah bilang, “Media sebelum reformasi dikuasai pemerintah, media sesudah reformasi dikuasai pengusaha.” Kalimat tersebut menggambarkan betapa roda industri media di Indonesia tak pernah lepas dari kungkungan pihak berkuasa. Dulu pemerintah dan kroninya, sekarang pemilik modal dan kroninya.

Kalau sudah begini, apa sebaiknya sebagai konsumen media kita juga melakukan efisiensi konsumsi media? Supaya pihak media sadar, kalau terus-terusan diberi barang dagangan seadanya, lama-lama barang dagangan itu bisa ditinggal pembeli!



No comments: