BAK KERBAU DICUCUK HIDUNG
Kemarin juru masak ibu saya berniat mempraktekkan resep baru yang didapatnya dari program masak-memasak di salah stasiun televisi swasta (Sayang saya lupa stasiun televisi dan nama programnya). Sederhana resepnya, terong goreng tepung. Masalahnya ia berkeras mau menggunakan sebuah tepung serbaguna bermerk tertentu yang identik dengan salah satu merek bumbu penyedap makanan (yang tentunya ber-MSG). Heran juga ibu saya, kenapa spesifik produk itui? Padahal juru masak tidak pernah menggunakan produk tersebut. "Soalnya, di resepnya pakai tepung itu....", jelas juru masak ibu saya dengan polos.
Oalah....., tentunya sang juru masak tidak paham kenapa sampai di resep tersebut penting disebutkan merek tepung serbaguna tertentu.
Di jaman serba kejar uang seperti sekarang sejumlah media berusaha "menjual" space iklannya lebih kreatif dan yang punya duit (baca: pengiklan) pingin produk atau jasanya makin lancar terjual. Salah satu taktik adalah membuat program atau tulisan yang seakan tidak disusupi muatan iklan. Padahal sebenarnya media dan pengiklan berkongsi memasukan muatan informasi produk atau jasa sang pengiklan secara halus (soft sell). Contohnya ya...program masak memasak yang tiap hari disaksikan hampir semua perempuan yang tinggal di rumah ibu saya.
Namanya boleh soft sell, tapi dampaknya bisa lebih besar daripada hard sell. Ketimbang memasang spot iklan dan bersaing dengan sekian banyak produk atau jasa sejenis untuk bisa diingat oleh target konsumen, mending menciptakan program (istilah keren media penyiarannya: blocking time) yang disusupi pesan-pesan untuk menggunakan produk atau jasa yang hendak disosialisasikan. Bayangkan berapa banyak yang secara tak sadar mengikuti resep dan menggunakan tepung serbaguna bermerk tertentu di program yang disaksikan juru masak ibu saya itu.
Itu baru satu produk di satu program. Seorang senior saya di masa jayanya sebagai penyiar radio, dalam empat jam siaran membacakan iklan baca (adlibs, bahasa penyiarannya) minimal empat buah. Di masa itu, apa yang "diceritakan" senior saya ini, sebagian besar "ditelan bulat-bulat" pendengar setianya. Bahkan saya sempet jadi saksi telinga (karena melalui radio) sekedar bercerita baru makan martabak yang enak banget, pendengar langsung telepon ke studio khusus menanyakan di mana tuh martabak yang uenak tenan-nya dijual? Padahal si tukang martabak boro-boro pasang iklan. Sadar lagi diomongin aja nggak.
Sampai detik ini, saya masih sangat percaya media punya dampak besar terhadap isi kepala audience-nya. Apalagi untuk kasus negara dengan populasi manusia cerdas yang masih menyedihkan seperti Indonesia.
Jangan sampai kita jadi bak kerbau dicucuk hidungnya....