Monday, January 14, 2008

AJAIBNYA SINETRON INDONESIA

Kebanyakan film dan sinetron kita tanpa arah, miskin pengembangan akal budi, sehingga sangat membahayakan. Demikian akar persoalan yang terungkap dari perbincangan Kompas ( diterbitkan 14 Januari 2008) dengan sosiolog Imam B Prasodjo.

"Saya mencermati, film dan sinetron kita dewasa ini banyak tanpa arah," kata Imam. Menurut dia, kreativitas di industri perfilman dan sinetron jangan hanya sekadar motif menghibur. Mestinya, pada saat yang sama produk budaya tersebut harus mendorong energi positif."Kenyataannya, film dan sinetron yang ditayangkan di layar kaca dan ditonton banyak keluarga cenderung mengeksploitasi hiburan, mempertontonkan kepura-puraan, emosi yang tidak terkendali, rasa takut, amarah, dan sebagainya yang kurang bernilai positif," kata Imam.

Wah, jadi ingat! Minggu 2 Desember 2007, secara kebetulan saya menyaksikan sinetron “Eneng dan Kaus Kaki Ajaib” di RCTI. Acara yang kelihatannya diperuntukkan bagi anak-anak ini (dilihat dari judul dan jam tayangnya serta pemainnya) sarat muatan bernilai asosial yang digambarkan melalui tokoh-tokohnya, seperti:
  1. Tokoh Petugas Keamanan: seringkali mengeluarkan kata-kata kasar dan makian.
  2. Tokoh Happy, “si orang paling kaya di Bojong Kidul”: Selain berulangkali mengeluarkan kalimat bernada “kalau ada uang semua bisa beres” juga sering mengeluarkan kata kasar, berbicara dengan nada tinggi (yang kesannya tokoh ini selalu marah). Bahkan dalam salah satu adegan terlihat tokoh ini menjewer telinga salah satu peran anak-anak.
  3. Tokoh pasangan suami istri: Tokoh Istri yang sedang jalan-jalan di pusat perbelanjaan memaksa suaminya membelikan pakaian. Oleh karena tokoh suami menolak, si istri yang secara kebetulan menemukan dompet jatuh milik orang lain berniat membelanjakan uang dalam dompet tersebut. Sementara tokoh suami, kendati sempat menghalangi niat sang istri pada akhirnya takluk juga dengan paksaan sang istri dan justru menemani istrinya berbelanja.
  4. Tokoh 5 anak-anak: digambarkan kerap mengelabui orang dewasa demi melakukan tindakan yang cenderung “kriminal”. Seperti membeli baju dan meninggalkan KTP milik Pak RT di kasir sebagai jaminan. Dalam adegan lain, anak-anak ini digambarkan makan di restoran dan meminta bon pembayaran digabung dengan bon milik Pak RT yang sedang makan di meja yang berbeda dalam restoran yang sama.


Sungguh menggelisahkan, menyaksikan tayangan yang seakan diperuntukkan bagi anak-anak tapi penuh muatan yang sarat kebencian, kedengkian, ketamakkan, dan kekasaran. Pantas, praktek kekerasan, bahkan yang dilakukan oleh anak-anak di negeri "miskin hati" ini semakin menggejala.

No comments: