EH…! ADA MBAK TITIK LOH, DI PIALA DUNIA!
Munculnya wajah Titik Soeharto di tengah pesta olahraga terbesar dunia (kata banyak orang) 2006 bikin banyak pihak berkomentar. Kurang seru rasanya kalau ditengah obrolan sesama pecinta sepak bola tidak disisipkan komentar tentang “Kenapa Titik Soeharto, ya…. yang nongol di piala dunia SCTV? “ Belum lagi tanggapan yang dipublikasikan media massa (Misalnya, baca detik.com: detikcom Polling 78% Gibol Terganggu oleh Titik ) ada yang pro ada yang kontra dengan munculnya Titik Soeharto di piala dunia ala SCTV. Masih dari situs berita yang sama, dilaporkan bahwa Komisi Penyiaran Indonesia dan DPR membahas munculnya Titik di layar kaca ( detik.com: Mbak Titik Dirumpiin Komisi I DPR & KPI). Malahan sampai ditelaah dari sisi komunikasi politik segala! (baca: detik.com: 3 Skenario Titik Soeharto di Mata Peneliti ).
Daripada ikutan membuat “agenda terselubung” (kalau memang ada) Mbak Titik malah jadi agenda publik, mending kita lihat “fenomnena” Mbak Titi di Piala Dunia lewat kacamata praktisi broadcast yang sedih melihat pola rekrutmen talent di dunianya. Kalau saja nama belakang presenter yang mendadak sontak kondang ini bukan Soeharto, barangkali kita tidak akan memandang kemunculannya sebagai sebuah agenda politik. Paling kita akan berkomentar, “Lah…kok ada ibu-ibu jadi presenter bola (Mohon maaf untuk para ibu, bukannya ibu-ibu nggak boleh jadi presenter sepak bola, loh!), mana ngomongnya (bahasa keren broadcast-nya adlibbing) kadang terbata-bata, komentarnya juga kurang ok?”
Komentar seperti itu, yang mengkritik penampilan sebagian presenter televisi dengan kompetensi minim lumayang sering mengemuka dari mulut pemirsa televisi Indonesia. (Ayo ngaku….seberapa sering anda mengomentari presenter infotainment yang nada bicaranya seperti robot?) Intinya, banyak talent yang direkrut dengan prasyarat lebih bersifat fisik atau akan lebih menjual dibanding talent lain yang barangkali justru punya talent lebih sebagai seorang broadcaster (saya jadi baru kepikiran, jangan-jangan manajemen stasiun televisi lupa kalau presenter semestinya didik sebagai broadcaster, bukan sekedar performer).
Terlepas dari ada tidaknya agenda politik dibalik kemunculan Titik Soeharto dalam piala dunia, yang jelas, setiap media dan orang yang tampil di dalamnya akan punya agenda sendiri-sendiri. Bisa agenda politik, agenda mengeruk duit belanja iklan, dan agenda-agenda lain. Agenda-agenda tersebut akan dikonsumsi masyarakat dalam jumlah sangat besar (sulit diprediksi jumlah pasti penerima pesan dalam komunikasi massa) yang terpisah lokasi saat menyimak medianya (McQuail, 2004).
Mudah-mudahan munculnya Titik Soeharto bukanlah sekedar agenda yang tiba-tiba muncul dari pikiran si mbak, “Ah…enak juga nih jadi presenter tv!”. Kasihan dong, bibit-bibit presenter berkualitas jadi nggak bisa nongol di layar kaca karena si mbak (yang notabene punya jaringan luas di kalangan pebisnis, termasuk pebisnis media) mendadak pingin jadi presenter. Apalagi para penonton, yang cuma bisa melongo di depan televisi sambil terus-terusan dicekoki berbagai agenda oleh pemilik, manajemen, ataupun kelompok dan pribadi yang punya akses lebih dalam mengontrol sosok-sosok yang hadir di media massa.
No comments:
Post a Comment