Monday, June 19, 2006

INGIN SEHAT? JANGAN KONSUMSI MEDIA!


Seorang teman mengirimkan email dengan judul: “Detoks Kaki: Terapi atau Penipuan?” Intinya, artikel ini mengulas sistem terapi detoks dengan cara merendam kedua kaki ke dalam sebuah bak yang terhubung ke sebuah alat. Sahibul hikayat, terapi ini bias mengeluarkan racun dari dalam tubuh melalui kaki. Setelah sekitar 30 menit merendam kaki ke air di dalam bak, maka air yang tadinya jernih akan menjadi berwarna (kata beberapa teman yang sudah coba, warna air berubah tergantung dari kondisi kesehatan tiap orang, ada yang jernih agak keruh, ada yang sangat keruh). Lebih lanjut, menurut si pengirim artikel (Yang entah siapa pengirim awalnya. Namanya juga dunia maya, makin tidak jelas pengirim makin asyik beritanya) , Terapi detoks dengan merendam kaki itu hanyalah penipuan! Tujuannya sederhana, supaya orang yang sudah p er nah mencoba alat detoks melalui rendam kaki ini, nantinya tertarik membeli alat detoks dengan harga sampai jutaan rupiah (lagi-lagi, menurut artikel yang saya terima melalui email). Dalam artikel disebutkan ada sejumlah media massa yang pernah meliput terapi detoks (yang katanya) tipuan itu. Sayangnya, media-media tersebut justru mengulas dari kebergunaan alat detoks yang (lagi-lagi, katanya) hanya tipuan belaka itu.
Semestinya, laporan di media, sesuai dengan salah satu fungsi media massa adalah sebagai sumber informasi untuk massa untuk memberikan sesuatu yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Sayangnya, hampir semua media massa jaman sekarang hadir bukan untuk memenuhi fungsi-fungsi aslinya, melainkan untuk profit pemilik. Jadi tidak usah heran, kalau menemukan sesuatu yang kurang (atau tidak dapat sama sekali) dipertanggungjawabkan. Usaha membatasi kesemena-menaan orang-orang kaya (yang ingin lebih kaya lagi) di media untuk memilintir informasi memang tak jarang dilakukan. Misalnya, ada kode etik yang menyebutkan bahwa pelaporan informasi yang bersifat iklan (atau advertorial, istilah halusnya) harus dilakukan dengan membuat pagar pembatas yang membuat pembaca sadar, bahwa ia bukan sedang membaca iberita, tapi sebuah materi promosi.
Prakteknya? Tetap saja, tuh! Banyak sekali materi di media massa yang sebenarnya bukan berita, tapi kita anggap berita. Maklum, sebagian besar dari kita kan tidak dibekali keterampilan jurnalistik untuk membedakan mana yang berita mana yang bukan.
Akal-akalan supaya barang dagangan dipercaya konsumen sebagai berita bukan cuma kejadian di Indonesia. Newsweek (13 Maret 2006) melaporkan terlalu banyak informasi kesehatan membuat masyarakat Amerika Serikat bingung. Penelitian terdahulu bilang, konsumsi kopi menyebabkan hipertensi dan penyakit jantung. Eh…, tahun 1990 ada lagi penelitian yang bilang konsumsi kopi bisa mengurangi kemungkinan parkinson dan diabetes.
Ternyata…oh ternyata…, sejumlah penelitian kesehatan yang dipublikasikan melalui media massa di Amerika Serikat, banyak yang merupakan penelitian pesanan atau buatan produsen produk-produk kesehatan. Tak heran, divisi public relations masing-masing perusahaan langsung menyebarkan hasil-hasil penelitian kesehatan tersebut melalui media-media massa. Bisa jadi tujuannya adalah demi kebaikan (penjualan?) perusahaannya atau organisasinya. Tidak ada salahnya mempublikasikan sebuah penelitian (yang dianggap) ilmiah. Masalahnya, kolom-kolom ataupun sound bites media massa tak mampu menjabarkan secara detil hasil penelitian ilmiah, di mana end user-nya adalah masyarakat awam.
Kalau sudah begini, siapa yang salah? Media massa? Public Relations? Konglomerat? Daripada terus berwacana siapa yang salah, lebih baik sebagai konsumen, kita semua sepakat: Media penjual omong kosong jangan dikonsumsi! Mereka ada karena kita. Putuskanlah media mana yang paling tepat untuk anda dan keluarga sekarang juga!

No comments: