MITOLOGI VERSUS TEKNOLOGI
Tadi pagi, beberapa orang sempat berbagi kekhawatiran melihat cuaca Jakarta yang mendung luar biasa. Maklum beberapa hari belakangan muncul isu 6-6-6 dan isu gempa yang (katanya) juga bakal kejadian di Jakarta. Sampai-sampai Wakil Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mengimbau warga ibu kota tetap tenang menyikapi isu yang menyebutkan Jakarta bakal dilanda gempa (bisnis.com, 07/06/06).
Orang-orang yang khawatir dengan cuaca Jakarta ini bukan cuma mereka yang status sosial ekonominya menengah bawah, loh! Malah jangan-jangan yang status sosial ekonomi menengah atas justru lebih banyak terekspose sama isu-isu ini. Lah wong isunya bertebaran dimana-mana...Di infotainment di TV ada...denger radio ada...baca media cetak ada...browsing situs berita, chatting, sampai di milis juga ada (bahkan sebagian ibu-ibu di Amerika Serikat juga ikutan ogah melahirkan pas 6-6-6, menurut yahoo news).
Menurut Emmanuel Subangun (Kompas, 07/06/06),"Pengertian "mito"logi jangan disepelekan sebagai lebih rendah dari "tekno"logi. Cara berpikir 'mito' sama indahnya dengan 'tekno' ". Jadi, salahkah kalau media mengekspose keindahan mitologi? Tidak juga, selama mitologi itu diekspose bersama indahnya teknologi [cover both sides, remember? ;)]. Sayangnya, banyak content media yang justru menitikberatkan pada sisi mitologi supranaturalnya (Dengan alasan: "Abis ratingnya tinggi sih! Artinya kan konsumen suka!" Mereka lupa bahwa fungsi media salah satunya mencukupi kebutuhan konsumen, bukan cuma keinginannya, sementara rating adalah alat ukur keinginan konsumen.).
Hari Sabtu kemarin, keponakan saya dengan muka polos bercerita tentang satu gua dekat tempat tinggalnya yang ada "penunggunya". Tegakah kita meneruskan tradisi supranatural (yang di beberapa negara jelas-jelas dilarang menjadi content media) ke keponakan, anak, cucu, cicit kita, cuma dengan alasan mengejar rating?
Thursday, June 08, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment