Wednesday, July 19, 2006

PADA SUATU HARI

30 Oktober 1938

Jutaan warga Amerika Serikat gempar! Jalanan macet total, rumah-rumah ditinggalkan penghuninya, sistem komunikasi mengalami kemacetan. Pasalnya, mereka dikejutkan sebuah news bulletin yang disiarkan salah satu radio. News bulletin tersebut, menurut para pendengar, melaporkan mahluk mars telah menyerbu bumi. Selidik punya selidik, ternyata news bulletin tersebut adalah bagian dari sandiwara radio yang diangkat dari karya H.G. Welles, bertajuk “War of the Worlds” atau yang kemudian lebih dikenal dengan “Invasion from Mars”.
Orson Welles, sang broadcaster yang menjadi otak di balik penyiaran sandiwara radio tersebut, barangkali tak menyangka sandiwaranya akan dikenang sepanjang masa.

17 Juli 2006

Setelah diguncang gempa, Warga Jakarta dikejutkan dengan berita terjadinya tsunami di Pangandaran. Berbagai pertanyaan muncul, “Apakah tsunami juga akan melanda Jakarta?” “Apakah ini tanda-tanda kiamat?” (Siapa juga yang bisa tahu kapan kiamat datang?)


BENAR:

SALAH:

  • Tindakan Orson Welles mengemas sandiwaranya sehingga terdengar seakan-akan seperti sebuah news bulletin.
  • Tindakan sebagian media massa (terutama elektronik) yang secara terburu-buru memberitakan tentang terjadinya tsunami di Pangandaran, saat pihak yang lebih berkompeten belum mengeluarkan pernyataan resmi.
  • Tindakan sebagian media massa (terutama elektronik) pasca gempa Pangandaran dan sekitarnya yang menginterview narasumber dari orang awam yang dianggap menjadi saksimata dengan mengajukan pertanyaan teknis, seperti: benarkah terjadi tsunami? (Lah, emangnya kita semua pernah dapet pelajaran tentang bedanya tsunami dengan gelombang pasang biasa?)

MENGAPA SALAH?


Kejadian sandiwara radio Orson Welles melahirkan teori komunikasi yang menyatakan bahwa isi media massa dapat berpengaruh langsung pada audience. Teori ini dikenal sebagai Teori Jarum Suntik (Hypodermic Needle Theory) atau Magic Bullet Theory. Artinya, apapun yang disajikan media massa, masyarakat akan langsung mempercayainya. Buktinya? Lihat lagi kejadian di tanggal 30 Oktober 1938 di atas!

Memang di jaman sekarang teori yang muncul pada tahun 1920an dan 1930an ini sudah dianggap basi. Berbeda dengan masa tahun 20an atau 30an, masyarakat jaman sekarang (kebanyakan) cenderung tidak hanya secara pasif menerima pesan yang disampaikan media massa. Tidak lagi seperti dasar pemikiran teori Jarum Suntik (Hypodermic Needle Theory) atau Magic Bullet Theory, yang menganggap semua manusia, tanpa kecuali menerima dampak yang sama dari isi media yang dikonsumsinya.

KENYATAANNYA:


Tapi kelihatannya, teori ini kadang masih berlaku di beberapa tatanan masyarakat. Mengingat rata-rata (ini asumsi saya, loh!) masyarakat Indonesia masih belum melek media (baca: masih he-eh aja dengan apa yang diberitakan medianya), nggak heran kemarin ada orang-orang yang was-was mendengar berita gempa dan tsunami di pesisir selatan Jawa.

LANGKAH SELANJUTNYA:

  • Buat konsumen media, jangan buru-buru panik kalau ada informasi dari media massa. Saatnya kita untuk cari akses informasi lain, telepon saudara yang ada di daerah bencana atau pihak yang lebih berkompeten, misalnya (walau kadang jawabannya sama basinya dengan berita media.
  • Buat pekerja media massa, sadarlah! Kalau masyarakat panik, anak, istri, suami, calon istri & suami, sahabat, dan handai taulan anda bisa jadi salah satu diantaranya. Tega amat bikin angka sakit jantung di Indonesia meningkat seiring dengan meningkatnya rating atau penjualan media! Pada suatu waktu (Insya Allah), konsumen akan lebih cerdas dan cermat dalam mengkonsumsi medianya. Di saat itu anda akan sadar, ternyata mencari dan mengemas berita tidaklah semudah yang anda bayangkan.

Wednesday, July 05, 2006

MEDIA MELAKUKAN EFISIENSI, SUDAH BIASA...,
TAPI KALAU KONSUMENNYA IKUT-IKUTAN?



Jam makan siang kemarin, saya sempat ngobrol dengan seorang teman yang punya production house. Setelah ngobrol ngalor-ngidul, teman saya bercerita tentang kisah suksesnya memproduksi sebuah program televisi yang sedang ditayangkan salah satu televisi swasta nasional di Indonesia. Rating programnya baik, iklan ok, tapi……, menurut pria yang sudah belasan tahun berbisnis production house ini, hasil produksi (sebagian) program televisi yang di outsource ke production house seperti kembali ke kualitas lima tahun lalu.

Kualitas yang menurun, menurut pengamatannya bukanlah disebabkan oleh penurunan kualitas pekerja production house tapi lebih dikarenakan pihak production house berusaha keras menekan biaya produksi. “Bayangin, tan! Saya pernah kasih harga 25 juta (tanpa mark up) untuk produksi eh…ada yang berani kasih harga 7,5 juta!”

Tidak akan ada ayam kalau tidak ada telur. Production house tidak akan menekan harga habis-habisan kalau tidak ada pemicu. Kembali ke cerita teman saya itu, production house menekan harga mati-matian terutama dikarenakan ingin programnya diambil oleh stasiun televisi tergabung dengan sebuah kelompok media besar. Dengan demikian, akses menjual program ke televisi, atau media lain, dan juga bisnis pendukung media (production house atau advertising agency, misalnya) yang dimiliki konglomerasi media yang bersangkutan, juga biasanya makin mudah. Nggak apa menekan harga (yang alih-alih menurunkan kualitas) demi bisa masuk media yang dimiliki sebuah raksasa media.

Praktek sebagaimana yang anda baca di paragraf sebelumnya, biasa disebut sebagai konsentrasi kepemilikan media. Salah satu tujuan konsentrasi kepemilikan adalah efisiensi biaya. Konotasi kata efisiensi mestinya, tidak harus negatif. Sayangnya kebanyakan praktek konsentrasi kepemilikan menunjukkan bahwa efisiensi = negatif.

Negatif sebab dengan efisiensi sering menyebabkan mengerucutnya jumlah pegawai karena dua perusahaan media di merger jadi satu. Negatif karena efisiensi menyebabkan banyak perusahaan media membangun bisnis medianya dari barang mentah sampai barang jadi (bukan cuma punya stasiun televisi tapi juga punya production house sehingga biaya produksi bisa ditekan, contohnya. Kan, sister company…) yang akhirnya menyebabkan orang atau organisasi di luar kerajaan bisnis media tersebut sulit menembus masuk.

Ilustrasi negatifnya efisiensi di atas, kalau saya teruskan bisa bikin mata kita berair (saking banyaknya daftar hal negatif dari efisiensi dalam bisnis media). Untuk mengembalikan tulisan ini ke obrolan makan siang saya kemarin, coba kita lihat apa korelasinya antara efisiensi dengan kita-kita ini yang doyan (atau nggak punya pilihan) mengkonsumsi media.

Tren manajemen media jaman sekarang di seluruh dunia adalah melakukan konsentrasi kepemilikan. Daripada punya satu stasiun broadcast mending punya beberapa, supaya profit makin besar. Daripada outsource materi berita mending bikin kantor berita sendiri…supaya harga bisa ditekan. Daripada susah-susah bikin kreatif program bikin siaran relay aja sama stasiun lain yang sudah punya program baru. Lebih irit & nggak usah pusing cari berita.

Kalimat-kalimat di atas adalah kalimat yang akan keluar jika kita memandang konsentrasi kepemilikan dari sisi pebisnis. Sementara nasib kita konsumen media adalah menikmati segala hasil efisiensi yang disajikan media saat ini. Bayangkan jika di awal tulisan saya mengilustrasikan ada production house yang berani menekan harga di bawah separuh harga normal produksi , betapa (cenderung) dibawah rata-ratanya hasil produksi mereka? Supaya lebih mudah membayangkan, cobalah saksikan beberapa program di televisi saat ini. Ada reality show yang gambarnya seperti diambil dengan handycam (jangan-jangan memang mereka syutingnya pakai handycam. Kan supaya murah…). Ada yang suaranya kurang jelas dan lebih banyak suara ruangnya (baca: seperti kita bicara di dalam gua alias gaungnya besar) dan hasil-hasil produksi seadanya yang lain.

Bisnis media kelihatannya makin seksi di mata pelaku bisnis. Nggak heran, seorang veteran broadcaster yang sekarang jadi aktivis pernah bilang, “Media sebelum reformasi dikuasai pemerintah, media sesudah reformasi dikuasai pengusaha.” Kalimat tersebut menggambarkan betapa roda industri media di Indonesia tak pernah lepas dari kungkungan pihak berkuasa. Dulu pemerintah dan kroninya, sekarang pemilik modal dan kroninya.

Kalau sudah begini, apa sebaiknya sebagai konsumen media kita juga melakukan efisiensi konsumsi media? Supaya pihak media sadar, kalau terus-terusan diberi barang dagangan seadanya, lama-lama barang dagangan itu bisa ditinggal pembeli!



Wednesday, June 28, 2006

NO MORE DRAMA, PLEASE…..


Semalam (tepatnya menjelang tengah malam), sebuah stasiun televisi swasta nasional dalam program beritanya melaporkan demonstrasi buruh di daerah Bogor, Jawa Barat yang terjadi siang harinya (27 Juni 2006). Kasusnya klise: pemilik modal tidak membayar gaji para buruh berbulan-bulan.

Laporannya juga klise: berisi berita dengan narasi dibacakan pihak stasiun televisi tentang pengusaha yang tidak membayar-bayar gaji para buruh (tanpa disertai pernyataan dari pihak pengusaha). Yang mengganggu dari berita tersebut adalah karena di bagian akhir, pihak stasiun memperlihatkan potongan wawancara seorang buruh perempuan yang sesenggukan (sampai kalimat yang diucapkannya tidak jelas) karena berhutang sampai satu juta rupiah ke beberapa warung demi menghidupi anak-anaknya. Durasi wawancara (eh…masih bisa dibilang wawancara nggak ya, kalau apa yang diucapkan narasumber sama sekali nggak jelas dari awal sampai akhir?) berisi tangisan ini bisa dibilang cukup panjang dibanding panjang segmen berita berisi demonstrasi buruh tersebut, yang hanya 2 sampai 3 menit-an.

Lazim, gaji tidak dibayar berbulan-bulan, buruh demonstrasi sampai menitikan air mata. Lazim, pemirsa terbawa emosi, karena kita berempati: Waduh, gimana kalau kita yang gajinya nggak dibayar berbulan-bulan? Terus? Kenapa harus ada tulisan ini di serampangan-bermedia? Mestinya, ka nisi blog ini adalah kritik terhadap praktek media?

Tulisan ini ada karena diantara kelaziman-kelaziman tadi, ada yang tidak lazim. Potongan wawancara buruh perempuan yang sesenggukan sampai kalimat yang diucapkannya tidak jelas, secara teknis bukanlah pesan yang efektif akan sampai ke pemirsa. Iya lah…, si buruh ngomong apa aja nggak kedengeran! Di luar masalah teknis penyampaian pesan, mengekspose adegan tangis-tangisan (kelihatannya) sudah jadi kegemaran stasiun-stasiun televisi di Indonesia. Maklum (menurut saya), kebanyakan orang Indonesia mudah tergugah dengan tangisan, merasa iba, tapi cepat lupa juga dengan kesusahan sesama.

Kemudah kasihanan (atau jangan-jangan, kita hanya menikmati tanpa rasa kasihan?) orang Indonesia akan tayangan yang berisi isak tangis ditanggapi cepat para “pengusaha” media. Bukan cuma dalam tayangan berita, tapi juga dalam berbagai tayangan hiburan, kita bisa melihat banjir air mata. Mudah-mudahan anda masih ingat salah satu program pencarian bakat, yang durasi peluk-pelukan & tangis-tangisan peserta yang tersingkirnya lebih panjang daripada durasi mereka menampilkan bakatnya di atas panggung. Belum lagi sinetron yang juga tak jauh dari kesusahan-kesusahan (walau akhirnya berakhir dengan kebahagiaan) yang juga penuh isak tangis. Intinya hanya satu: para “pedagang” media ingin isi medianya lebih “hidup”

Berita buruh yang demonstrasi sudah kabar biasa. Reality show dan sinetron dengan persaingannya yang luar biasa, membuat ide program atau ide cerita menjadi biasa-biasa saja. Maklum, para pekerja (yang katanya) kreatif sudah mulai kelelahan berlomba ide dengan pesaingnya. Jadi, demi “menghidupkan” program dicarilah scene-scene emosional yang salah satu bentuknya adalah tangisan.

Dramatisasi dalam informasi & hiburan di media massa adalah hal biasa (tapi tidak benar & tidak etis) yang terjadi dalam praktek media di berbagai negara. Misalnya, sebuah stasiun televisi di Las Vegas, KLAS, dalam liputannya tentang kasus penembakan di sebuah kasino (Baran, h. 480, 2004). Berita kasus kriminal yang berhasil terliput, ternyata “membosankan” dan dinilai butuh “sentuhan” agar terasa lebih hidup. Jadilah, manajemen media “menempel” suara-suara slot machine, perbincangan, dan juga tembakan di gambar hasil liputan para pekerja media yang sebelumnya dinilai membosankan. Hasilnya? Berita terasa lebih hidup.

Ujung-ujungnya, dari berbagai sentuhan dramatis di media massa adalah harapan meningkatkan jumlah audience yang nantinya akan meningkatkan juga perolehan iklan bagi media massanya. Masalahnya, jika terus-terusan disuguhi isak tangis, kapan kita mau mulai menjadi bangsa yang tabah? Hidup sudah berat, haruskah media massa mengeksploitasi kesusahan hidup demi kebahagiaan segelintir pemilik modal?

Wednesday, June 21, 2006

MENYELEKSILAH SEBELUM ANDA DISELEKSI

Teman saya yang seorang psikolog kemarin bercerita tentang pengalamannya diwawancara media. “Diwawancaranya lama, tapi yang dimasukin (ke dalam isi media) sedikit.” Bagi praktisi media massa, hal tersebut yang biasa dikenal dengan proses seleksi isi media, adalah hal yang dianggap wajar. Alasan tindakan penyeleksian isi media bisa macam-macam. Dikejar deadline, mempertahankan lay out, atau yang lebih politis adalah untuk membentuk opini publik.

Menciptakan opini publik merupakan salah satu kekuatan maha dahsyat media massa. Media massa adalah satu-satunya media dalam komunikasi yang dapat menjamin penyampaian pesan secara (relatif) serentak bagi audience yang terpisah satu sama lain. Misalnya, Titik Soeharto baru sekali muncul di layar kaca SCTV saat piala dunia 2006, banyak orang mulai mencium ada sesuatu dibalik pemilihan Titik yang awam perihal bola sebagai presenter pergelaran piala dunia 2006. Opini publik pun terbentuk: Keluarga Cendana berencana kembali? (Wallahualam).
Coba kita lihat alasan lain penyeleksian isi media, melalui praktek seleksi isi media lainnya. Dalam tempo singkat, ramai-ramai masyarakat membicarakan perseteruan perebutan anak Tamara & Rafly dan misteri “anak” Taufik Hidayat (Mudah-mudahan anda mengenal kasus-kasus ini, supaya saya tidak perlu berpanjang-panjang menceritakan masalah rumah tangga orang). Sebagian orang mempertanyakan, “Kenapa sih yang berulang kali ditampilkan foto buram yang sama dari (yang katanya) anak Taufik Hidayat?” atau “Gambar di infotainment-infotainment kok kayaknya seragam ya…Tamara lagi ngomong dengan suara bergetar mata berair, raut wajah keras seperti marah, dengan statement yang sama terus menerus.” Nah…., kalau isi media yang seperti ini, saya rasa tujuannya sederhana: Demi mengejar deadline.
Iseng-iseng coba hitung ada berapa banyak tayangan infotainment tiap hari dan hitung aja ada berapa headline yang diangkat? Tidak perlu menghitung serius pun kita bisa dapat gambaran bahwa perlombaan mencari berita (gosip?) yang jumlahnya tidak seberapa dari kaum selebritis Indonesia akan berat bagi pekerja infotainment. Makanya, di lapangan para pekerja infotainment berbondong-bondong mengejar para selebiritis, syukur-syukur dapat yang eksklusif. Kalau nggak dapat yang eksklusif, ya terima saja gambar-gambar, statement-statement dan angle-angle kamera yang sama persis dari berbagai tayangan infotainment. Lah wong, nyari beritanya bareng-bareng sama tim dari infotainment yang berbeda, kok! Mana bisa dapat statement, angle, atau gambar yang beda.
Masalahnya, keterbatasan waktu dalam mengemas berita juga akan berakhir pada pembentukan opini konsumen media. Contohnya, karena Tamara yang berulang kali dilihat bicara dengan suara bergetar dan mata yang tergenang air mata (tapi tidak jatuh) kita jadi bias berasumsi, “Ah ini cuma akting Tamara”. Padahal sebenarnya tayangan infotainmentnya sendiri (barangkali) tidak berniat menayangkan gambar tersebut bertubi-tubi. Alasannya Cuma satu: memang tidak ada stock gambar yang lain, sementara program sudah harus tayang!

Mau karena alasan politis atau alasan bisnis seperti terkejar deadline, pada akhirnya proses seleksi berakhir dengan pembentukan opini publik. Sebagai konsumen media, tinggal pintar-pintarnya kita, untuk menyeleksi hasil seleksi isi media yang dipublikasi oleh manajemen media massa melalui medianya. Kalau tidak? Ya, tinggal terima opini (atau jangan-jangan, sekaligus logika) kita diobok-obok oleh para kapitalis media.

Monday, June 19, 2006

INGIN SEHAT? JANGAN KONSUMSI MEDIA!


Seorang teman mengirimkan email dengan judul: “Detoks Kaki: Terapi atau Penipuan?” Intinya, artikel ini mengulas sistem terapi detoks dengan cara merendam kedua kaki ke dalam sebuah bak yang terhubung ke sebuah alat. Sahibul hikayat, terapi ini bias mengeluarkan racun dari dalam tubuh melalui kaki. Setelah sekitar 30 menit merendam kaki ke air di dalam bak, maka air yang tadinya jernih akan menjadi berwarna (kata beberapa teman yang sudah coba, warna air berubah tergantung dari kondisi kesehatan tiap orang, ada yang jernih agak keruh, ada yang sangat keruh). Lebih lanjut, menurut si pengirim artikel (Yang entah siapa pengirim awalnya. Namanya juga dunia maya, makin tidak jelas pengirim makin asyik beritanya) , Terapi detoks dengan merendam kaki itu hanyalah penipuan! Tujuannya sederhana, supaya orang yang sudah p er nah mencoba alat detoks melalui rendam kaki ini, nantinya tertarik membeli alat detoks dengan harga sampai jutaan rupiah (lagi-lagi, menurut artikel yang saya terima melalui email). Dalam artikel disebutkan ada sejumlah media massa yang pernah meliput terapi detoks (yang katanya) tipuan itu. Sayangnya, media-media tersebut justru mengulas dari kebergunaan alat detoks yang (lagi-lagi, katanya) hanya tipuan belaka itu.
Semestinya, laporan di media, sesuai dengan salah satu fungsi media massa adalah sebagai sumber informasi untuk massa untuk memberikan sesuatu yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Sayangnya, hampir semua media massa jaman sekarang hadir bukan untuk memenuhi fungsi-fungsi aslinya, melainkan untuk profit pemilik. Jadi tidak usah heran, kalau menemukan sesuatu yang kurang (atau tidak dapat sama sekali) dipertanggungjawabkan. Usaha membatasi kesemena-menaan orang-orang kaya (yang ingin lebih kaya lagi) di media untuk memilintir informasi memang tak jarang dilakukan. Misalnya, ada kode etik yang menyebutkan bahwa pelaporan informasi yang bersifat iklan (atau advertorial, istilah halusnya) harus dilakukan dengan membuat pagar pembatas yang membuat pembaca sadar, bahwa ia bukan sedang membaca iberita, tapi sebuah materi promosi.
Prakteknya? Tetap saja, tuh! Banyak sekali materi di media massa yang sebenarnya bukan berita, tapi kita anggap berita. Maklum, sebagian besar dari kita kan tidak dibekali keterampilan jurnalistik untuk membedakan mana yang berita mana yang bukan.
Akal-akalan supaya barang dagangan dipercaya konsumen sebagai berita bukan cuma kejadian di Indonesia. Newsweek (13 Maret 2006) melaporkan terlalu banyak informasi kesehatan membuat masyarakat Amerika Serikat bingung. Penelitian terdahulu bilang, konsumsi kopi menyebabkan hipertensi dan penyakit jantung. Eh…, tahun 1990 ada lagi penelitian yang bilang konsumsi kopi bisa mengurangi kemungkinan parkinson dan diabetes.
Ternyata…oh ternyata…, sejumlah penelitian kesehatan yang dipublikasikan melalui media massa di Amerika Serikat, banyak yang merupakan penelitian pesanan atau buatan produsen produk-produk kesehatan. Tak heran, divisi public relations masing-masing perusahaan langsung menyebarkan hasil-hasil penelitian kesehatan tersebut melalui media-media massa. Bisa jadi tujuannya adalah demi kebaikan (penjualan?) perusahaannya atau organisasinya. Tidak ada salahnya mempublikasikan sebuah penelitian (yang dianggap) ilmiah. Masalahnya, kolom-kolom ataupun sound bites media massa tak mampu menjabarkan secara detil hasil penelitian ilmiah, di mana end user-nya adalah masyarakat awam.
Kalau sudah begini, siapa yang salah? Media massa? Public Relations? Konglomerat? Daripada terus berwacana siapa yang salah, lebih baik sebagai konsumen, kita semua sepakat: Media penjual omong kosong jangan dikonsumsi! Mereka ada karena kita. Putuskanlah media mana yang paling tepat untuk anda dan keluarga sekarang juga!

Monday, June 12, 2006

EH…! ADA MBAK TITIK LOH, DI PIALA DUNIA!

Munculnya wajah Titik Soeharto di tengah pesta olahraga terbesar dunia (kata banyak orang) 2006 bikin banyak pihak berkomentar. Kurang seru rasanya kalau ditengah obrolan sesama pecinta sepak bola tidak disisipkan komentar tentang “Kenapa Titik Soeharto, ya…. yang nongol di piala dunia SCTV? “ Belum lagi tanggapan yang dipublikasikan media massa (Misalnya, baca detik.com: detikcom Polling 78% Gibol Terganggu oleh Titik ) ada yang pro ada yang kontra dengan munculnya Titik Soeharto di piala dunia ala SCTV. Masih dari situs berita yang sama, dilaporkan bahwa Komisi Penyiaran Indonesia dan DPR membahas munculnya Titik di layar kaca ( detik.com: Mbak Titik Dirumpiin Komisi I DPR & KPI). Malahan sampai ditelaah dari sisi komunikasi politik segala! (baca: detik.com: 3 Skenario Titik Soeharto di Mata Peneliti ).

Daripada ikutan membuat “agenda terselubung” (kalau memang ada) Mbak Titik malah jadi agenda publik, mending kita lihat “fenomnena” Mbak Titi di Piala Dunia lewat kacamata praktisi broadcast yang sedih melihat pola rekrutmen talent di dunianya. Kalau saja nama belakang presenter yang mendadak sontak kondang ini bukan Soeharto, barangkali kita tidak akan memandang kemunculannya sebagai sebuah agenda politik. Paling kita akan berkomentar, “Lah…kok ada ibu-ibu jadi presenter bola (Mohon maaf untuk para ibu, bukannya ibu-ibu nggak boleh jadi presenter sepak bola, loh!), mana ngomongnya (bahasa keren broadcast-nya adlibbing) kadang terbata-bata, komentarnya juga kurang ok?”

Komentar seperti itu, yang mengkritik penampilan sebagian presenter televisi dengan kompetensi minim lumayang sering mengemuka dari mulut pemirsa televisi Indonesia. (Ayo ngaku….seberapa sering anda mengomentari presenter infotainment yang nada bicaranya seperti robot?) Intinya, banyak talent yang direkrut dengan prasyarat lebih bersifat fisik atau akan lebih menjual dibanding talent lain yang barangkali justru punya talent lebih sebagai seorang broadcaster (saya jadi baru kepikiran, jangan-jangan manajemen stasiun televisi lupa kalau presenter semestinya didik sebagai broadcaster, bukan sekedar performer).

Terlepas dari ada tidaknya agenda politik dibalik kemunculan Titik Soeharto dalam piala dunia, yang jelas, setiap media dan orang yang tampil di dalamnya akan punya agenda sendiri-sendiri. Bisa agenda politik, agenda mengeruk duit belanja iklan, dan agenda-agenda lain. Agenda-agenda tersebut akan dikonsumsi masyarakat dalam jumlah sangat besar (sulit diprediksi jumlah pasti penerima pesan dalam komunikasi massa) yang terpisah lokasi saat menyimak medianya (McQuail, 2004).

Mudah-mudahan munculnya Titik Soeharto bukanlah sekedar agenda yang tiba-tiba muncul dari pikiran si mbak, “Ah…enak juga nih jadi presenter tv!”. Kasihan dong, bibit-bibit presenter berkualitas jadi nggak bisa nongol di layar kaca karena si mbak (yang notabene punya jaringan luas di kalangan pebisnis, termasuk pebisnis media) mendadak pingin jadi presenter. Apalagi para penonton, yang cuma bisa melongo di depan televisi sambil terus-terusan dicekoki berbagai agenda oleh pemilik, manajemen, ataupun kelompok dan pribadi yang punya akses lebih dalam mengontrol sosok-sosok yang hadir di media massa.

Thursday, June 08, 2006

MITOLOGI VERSUS TEKNOLOGI

Tadi pagi, beberapa orang sempat berbagi kekhawatiran melihat cuaca Jakarta yang mendung luar biasa. Maklum beberapa hari belakangan muncul isu 6-6-6 dan isu gempa yang (katanya) juga bakal kejadian di Jakarta. Sampai-sampai Wakil Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mengimbau warga ibu kota tetap tenang menyikapi isu yang menyebutkan Jakarta bakal dilanda gempa (bisnis.com, 07/06/06).

Orang-orang yang khawatir dengan cuaca Jakarta ini bukan cuma mereka yang status sosial ekonominya menengah bawah, loh! Malah jangan-jangan yang status sosial ekonomi menengah atas justru lebih banyak terekspose sama isu-isu ini. Lah wong isunya bertebaran dimana-mana...Di infotainment di TV ada...denger radio ada...baca media cetak ada...browsing situs berita, chatting, sampai di milis juga ada (bahkan sebagian ibu-ibu di Amerika Serikat juga ikutan ogah melahirkan pas 6-6-6, menurut yahoo news).

Menurut Emmanuel Subangun (Kompas, 07/06/06),"Pengertian "mito"logi jangan disepelekan sebagai lebih rendah dari "tekno"logi. Cara berpikir 'mito' sama indahnya dengan 'tekno' ". Jadi, salahkah kalau media mengekspose keindahan mitologi? Tidak juga, selama mitologi itu diekspose bersama indahnya teknologi [cover both sides, remember? ;)]. Sayangnya, banyak content media yang justru menitikberatkan pada sisi mitologi supranaturalnya (Dengan alasan: "Abis ratingnya tinggi sih! Artinya kan konsumen suka!" Mereka lupa bahwa fungsi media salah satunya mencukupi kebutuhan konsumen, bukan cuma keinginannya, sementara rating adalah alat ukur keinginan konsumen.).

Hari Sabtu kemarin, keponakan saya dengan muka polos bercerita tentang satu gua dekat tempat tinggalnya yang ada "penunggunya". Tegakah kita meneruskan tradisi supranatural (yang di beberapa negara jelas-jelas dilarang menjadi content media) ke keponakan, anak, cucu, cicit kita, cuma dengan alasan mengejar rating?

Wednesday, June 07, 2006

MEMANG PALING AMAN KALAU PUNYA DUIT!
Di sebuah rapat, saya ketemu seorang ayah yang bersyukur anaknya lebih suka nonton Disney Channel di televisi siaran berlangganan dibanding nonton siaran televisi terestrial (baca: siaran televisi gratisan yang ditayangkan nasional maupun lokal). Alasannya sederhana: televisi kita (di Indonesia) lebih banyak berisi infotainment, tahayul, sinetron yang cuma menjual mimpi.
Kata Straubhaar & LaRose (2003), television is a vast wasteland. Bahasa gampangnya: apa juga ada di televisi. Berbeda dengan media broadcast yang lain; radio, televisi akan ditonton pemirsa berdasarkan programnya. Sedangkan radio justru akan didengarkan karena konsep keseluruhan program stasiunnya yang biasa disebut format radio. Makanya, televisi terestrial menjadi seperti tempat pembuangan akhir sampah, isinya sangat beragam untuk semua usia, strata sosial ekonomi, gender, & lain-lain.
Artinya, sebagai pemirsa, kita memang akan dijejali beraneka ragam program yang ditujukan untuk berbagai karakteristik pemirsa saat nonton televisi terestrial. Walaupun , memang diseluruh dunia, PASTI akan ada peraturan perundang-undangan yang mengatur isi media penyiaran. Kesimpulannya, apakah industri televisi akan peduli dengan kebutuhan konsumen (bukan hanya keinginan)? Kalau jawabannya Emang Gue Pikirin....artinya memang paling aman punya banyak duit! Supaya kita semua bisa bayar siaran televisi berlangganan.

Thursday, June 01, 2006



GEMPA & GEGAP GEMPITANYA TELEVISI
Para pengungsi korban gempa di Kabupaten Bantul, Yogyakarta, yang hendak meminta bantuan logistik, merasa dipingpong (Koran Tempo, Rabu 31/05/06). Ironisnya, hari senin malam sebuah stasiun tv menayangkan sebuah program yang niatnya mulia, sih. Membantu menggalang dana untuk Yogya.
Tapi......kok ya diakhir acara, artis-artisnya pada nyanyi bareng sambil cengengesan ya???? Bukan cuma itu, rombongan crew yang ada di ground zero juga disorot pas lagi cengar-cengir (mau ngegambarin kalau mereka legaaaaa...acaranya selesai siaran live, barangkali?), sambil beberapa ngacungin jari-jari tangannya membentuk huruf V. Kok ya bisa, terlihat bahagia (di acara yang ditayangkan nasional dengan tema bencana), padahal pengungsi masih bingung cari info ke mana cari bantuan.
Daripada pada cengengesan (pada lupa kali ya...kalau image mereka dipertaruhkan dengan tampil cengar-cengir depan layar kaca), mending langsung rapat koordinasi buat bikin program berikutnya yang bisa jadi sumber informasi untuk para pengungsi. Supaya gak ada lagi berita foto warga yang berdesakan & saling dorong waktu antri bahan makanan (Kompas, Rabu 31/05/06)